Malala Yousafzai: Simbol Perjuangan untuk Pendidikan
Malala Yousafzai, seorang gadis muda dari Swat Valley, Pakistan. Pertama kali menarik perhatian publik pada tahun 2009 melalui buku hariannya yang diterbitkan oleh BBC Urdu. Dalam tulisannya, Malala menggambarkan ketakutannya dan keinginannya untuk tetap bersekolah, meskipun ada larangan dari Taliban. “Saya takut pergi ke sekolah karena Taliban telah mengeluarkan edaran yang melarang semua anak perempuan untuk bersekolah,” tulisnya dalam salah satu pemberitaan oleh BBC News.
Pada tahun 2008, Taliban mulai menghancurkan sekolah-sekolah perempuan di Swat Valley. Malala, yang saat itu berusia 11 tahun, menulis tentang ketakutannya dan harapannya untuk masa depan. “Saya bermimpi buruk dengan helikopter militer dan Taliban. Saya takut pergi ke sekolah, karena Taliban telah melarang semua anak perempuan untuk bersekolah,” tulisnya seperti dikutip dari BBC News. Meskipun ancaman terus meningkat, Malala tetap berani berbicara tentang hak-hak pendidikan perempuan.
Serangan dan Kebangkitan Malala
Pada Oktober 2012, Malala ditembak di kepala oleh seorang militan Taliban. Kala itu, ia dalam perjalanan pulang dari sekolah. Serangan ini tidak hanya mengejutkan Pakistan, tetapi juga dunia internasional. Setelah serangan tersebut, Malala diterbangkan ke Inggris untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Beruntung, ia berhasil pulih dari luka-lukanya. “Saya tidak ingin dikenal sebagai gadis yang ditembak oleh Taliban. Saya ingin dikenal sebagai gadis yang berjuang untuk pendidikan,” ujar Malala dalam sebuah wawancara bersama The Worlds Childrens Prize. Serangan tersebut tidak menghentikan semangat Malala. Sebaliknya, ia menjadi simbol global untuk hak pendidikan anak perempuan. Malala kemudian mendirikan Malala Fund untuk mempromosikan hak pendidikan bagi anak perempuan di seluruh dunia.
Setelah pulih, Malala melanjutkan kampanyenya untuk hak pendidikan anak perempuan di seluruh dunia. Pada tahun 2014, ia menjadi penerima Nobel Perdamaian termuda dalam sejarah. Dalam pidatonya di Oslo, ia menyatakan, “Hari ini adalah hari bagi setiap wanita, anak laki-laki, dan anak perempuan yang telah mengangkat suara mereka untuk hak-hak mereka. Mari kita berjuang melawan buta huruf, kemiskinan, dan terorisme. Pendidikan adalah solusi satu-satunya”. Melalui pemberitaan oleh BBC News, Malala disebut berhasil memperoleh pengakuan internasional
Malala juga menerima penghargaan lainnya, termasuk Sakharov Prize for Freedom of Thought dari Parlemen Eropa dan National Malala Peace Prize dari pemerintah Pakistan. Ia terus mengadvokasi hak-hak pendidikan di berbagai forum internasional, termasuk di PBB. Malala menyampaikan pidato yang menginspirasi pada hari ulang tahunnya yang ke-16. “Mari kita angkat buku dan pena kita. Mereka adalah senjata paling kuat kita. Pendidikan adalah satu-satunya solusi,” tandasnya seperti telah diberitakan oleh BBC News.
Kini Menjadi Produser Film
Pada tahun 2024, Malala membuat debutnya sebagai produser film dokumenter berjudul “Last of the Sea Women” yang akan tayang di Apple TV+. Diberitakan, bahwa film ini mengisahkan kehidupan para penyelam wanita tua dari Pulau Jeju, Korea Selatan, yang dikenal sebagai haenyeo. Selain itu, Malala juga terus berkomitmen untuk mengadvokasi hak-hak perempuan dan anak-anak di berbagai belahan dunia. Baru-baru ini, ia menyerukan gencatan senjata di Gaza dan menyoroti penderitaan anak-anak perempuan Palestina. Merdeka!
Sumber:
BBC News
The Worlds Childrens Prize
The News International
Daily Times
Ilustrasi foto:
Copilot AI