Lingkar Berita Pendidikan Indonesia

Sebuah Paradoks untuk Anti Korupsi

Banyak pihak yang ingin memerangi korupsi. Namun sistem anti korupsi yang dirancang untuk mendorong akuntabilitas, efisiensi ataupun persaingan yang sehat, ternyata malah dapat menghasilkan sebaliknya. Hal ini disampaikan oleh John Osburg, seorang Associate Professor pada Departemen Antropologi, University of Rochester, New York, USA. 

Melalui ethnographic examination pada audit negara di China, ia menelusuri evolusi jaringan elit yang terdiri dari pengusaha dan pejabat negara yang muncul dari reformasi ekonomi di China. Menurutnya, jaringan elit tersebut adalah dasar sosial dari korupsi di China pasca Mao Zedong. Mao Zedong sendiri dikenal sebagai bapak pendiri republik rakyat China. 

Kapitalisme Memperkuat Ikatan Partikularistik

Dijelaskan oleh Osburg bahwa generasi orang kaya pasca Mao, telah melahirkan generasi kedua yang semakin menutup diri bagi kaum non elit, sehingga tidak dapat ditembus. Melalui etos jaringan elit tersebut, kapitalisme telah membuat ikatan partikularistik yang berakar pada hubungan kekerabatan, pengaruh, dan kesenangan, menjadi lebih kuat dan penting daripada sosok aktor elit.

Dalam  hal ini, asumsi umum tentang anti korupsi global mendapat tantangan. Peninggalan sosialisme yang dikira akan tersapu oleh persaingan global, ternyata menjadi suatu hal yang penting. Kekerabatan, sentimen, dan jaringan dalam hiburan, menjadi lebih kuat manakala ada kebijakan privatisasi. Ketika persaingan bisnis terjadi, maka para mitra bisnis yang terkait akan terikat dalam ikatan yang disebut ikatan non rasional oleh Osburg. 

Hubungan pasar yang seharusnya tercipta, berubah menjadi relasi sosial yang digunakan dalam praktik bisnis. Contoh detilnya, ketika terjadi proses audit yang terlihat diandalkan dalam aktivitas transparansi bisnis, namun tetap akan muncul hak istimewa yang disebutkan berasal dari ikatan afektif, hubungan kekerabatan, atau solidaritas berbasis kelas atau gender. Hal ini kemudian menjadikan proses audit, kemudian dapat tetap dilaksanakan, namun merujuk pada keuntungan kelompok tertentu melalui legitimasi ilmiah yang dibentuk sedemikian rupa dalam mendukung praktik nepotisme dan kronisme. Hal ini, kemudian melahirkan paradoks bagi aktivitas anti korupsi.

Praktik Audit Bayangan dalam Pelaksanaan Audit

Dalam hal ini, keberadaan praktik audit, disebut justru telah merusak keberadaan tata kelola pemerintahan yang efektif. Mekanisme yang seharusnya dapat mengukur, namun kemudian dikelola sebagai mekanisme yang melembagakan aturan tidak tertulis yang menghasilkan audit bayangan. Secara bertahap, kemudian mekanisme yang dikembangkan, berubah menjadi lebih penting daripada proses audit yang resmi terjadi.

Menurut Osburg, terjadi semacam penyuapan melalui sajian makan minum bersama, seks, atau hal lain yang menyenangkan dalam dunia hiburan, yang kemudian menjadi satu set aturan tidak tertulis yang terlembagakan. Hasilnya, hal ini mampu menyingkirkan kampanye anti korupsi yang ada. Sekali lagi, paradoks telah muncul bagi agenda anti korupsi.

Selain itu, kontribusi dari lembaga semacam KPK di Indonesia, juga menjadi hal penting bagi keberlanjutan kampanye anti korupsi di China. Dijelaskan oleh Osburg, bahwa pembersihan bermotif politik dan ketidakmerataan penegakan korupsi di China pada masa lalu, memungkinkan lahirnya segala motif korup terhadap upaya anti korupsi yang dilakukan. 

Sembari merujuk pendapat Jane Schneider (2018), dinyatakan bahwa anti-korupsi, karena sifatnya yang luar biasa, maka dapat dengan mudah menyerupai atau bahkan berevolusi menjadi formasi yang ingin dilawannya. Sebagai contoh, saat aktivitas anti korupsi sedang ramai digelar di Chengdu, seorang pengusaha di sana disebut oleh Osburg, berani memarkir mobilnya di tempat terlarang. Ternyata, hal ini disebabkan oleh keberadaan pacarnya yang saat itu bekerja sebagai KPK-nya China. Karenanya, semua orang takut, dan tidak ada yang berani memberikan denda pelanggaran parkir yang dilakukannya.

 

 


Sumber:
Making Business Personal: Corruption, Anti-corruption, and Elite Networks in Post-Mao China oleh John Osburg yang telah dipublikasikan di Current Anthropology Volume 59, Supplement 18, April 2018.
Hasil esai milik John Osburg tersebut, kemudian diterjemahkan secara bebas, dengan tujuan untuk kepentingan penyebarluasan informasi pengetahuan dan usaha peningkatan ketersediaan sumber literasi bagi masyarakat.
Ilustrasi foto:
Akibat salah parkir sembarangan dalam Akun Youtube Rangkumania Channel
 

 

Share :


Post Comment