Lingkar Berita Pendidikan Indonesia

Prof. Glinka, Sebuah Perjalanan Hidup dari Polandia ke Indonesia

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Indonesia memiliki sedikit ahli antropologi ragawi. Dari segelintir orang itu, hanya sedikit yang mengetahui bahwa salah satu diantaranya berasal dari Polandia. Dialah Prof. Dr. Habil Josef Glinka, SVD. Pria kelahiran Chorzow, Polandia, pada 7 Juni 1932 ini, semasa hidupnya akan selalu tampak bersemangat, ketika ditanya tentang perjuangannya dalam memperkenalkan antropologi di Indonesia.

Sepeninggal Prof. Glinka, akan semakin sulit ditemui pakar antropologi ragawi di Indonesia. Menyadari hal itu, sebelum meninggal dunia Prof. Glinka menginginkan tersedianya beasiswa bagi mereka yang ingin memperdalam antropologi ragawi. Hal itu menjadi kenyataan, mengingat saat mengabdi di Universitas Airlangga, Prof. Glinka menunjukkan jati dirinya sebagai guru besar, dengan menelurkan beberapa doktor, dan memberangkatkan beberapa muridnya untuk melakukan studi lanjut hingga meraih gelar doktor dari luar negeri.  

BERITA TERKAITProf. Glinka Meninggal Dunia

Prof. Glinka sendiri mengaku berhasil meraih gelar doktor pada usia 37 tahun, dan mulai belajar antropologi sejak berusia 27 tahun. Prof. Glinka adalah antropolog lulusan dari Universitas Mickiewicz, Poznan, Polandia, yang kebetulan disertasi doktoralnya mengenai Indonesia. Peraih guru besar dari Uniwersytet Jagiellonski, Krakow ini, pertama kali bergabung di Universitas Airlangga, pada bagian anatomi, Fakultas Kedokteran.

Sejak tahun 2007 Prof. Dr. Teuku Jacob meninggal dunia, sehingga praktis Prof. Glinka menjadi antropolog senior di Indonesia, khususnya pada bidang antropologi ragawi. Sepeninggal Prof. Jacob dari UGM, perjuangannya diteruskan oleh muridnya, yaitu Prof. Etty Indriati. Menurut Prof. Glinka, Prof. Etty adalah dokter gigi yang menguasai banyak hal, termasuk pada bidang antropologi forensik. "Itu hanya ada dua di Indonesia, yaitu Etty dan Toetik Koesbardiati, murid saya. Dua-duanya punya ijazah internasional untuk forensic anthropology," demikian ungkap Prof. Glinka dalam suatu kesempatan wawancara bersama Lambertus Hurek pada tahun 2009.

Dikatakan oleh Prof. Glinka, bahwa masyarakat Eropa memang cenderung menggunakan istilah antropologi, untuk menyebut antropologi ragawi. Namun di Amerika, antropologi dibedakan menjadi antropologi fisik dan antropologi budaya. Kemudian, Prof. Jacob memberikan istilah bio antropologi sebagai terjemahan dari antropologi fisik. Apa yang saat ini disebut sebagai antropologi ragawi, sesungguhnya adalah bio antropologi.

Selain mahir di bidang antropologi ragawi, Prof. Glinka juga dikenal memiliki kemampuan untuk mencari sumber air. Pada masa lalu, hal ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat. "Air kalau mengalir itu menyebabkan radiasi elektromagnetik. Extreme lilo frequencies, sehingga sulit dapat diukur. Tapi ada radiasi. Kalau ada pasangan suami-istri tidur di atas jalur air bawah tanah, maka tidak bisa hamil. Dan andai kata hamil langsung gugur. Dulu saya pernah publikasi di Surabaya Post. Dulu saya masih pergi ke rumah, tapi sekarang saya minta mereka bawa denah rumah. Dari denah, saya juga bisa menentukan," ungkap Prof. Glinka kepada Lambertus Hurek. Cukup dengan menggunakan pendulum, maka Prof. Glinka dapat mendeteksi sumber air. Bahkan, dengan konsentrasi tinggi, Prof. Glinka mengaku mampu menelaah sumber air yang berada ribuan kilometer darinya.

Prof. Glinka yang berkesempatan untuk belajar antropologi budaya di Flores selama 20 tahun, mengaku terdapat banyak informasi yang lebih banyak daripada yang telah tertulis di buku, jika mempelajari antropologi secara langsung di lapangan. Untuk itu, dia merasa perlu untuk belajar beberapa bahasa.

Prof. Glinka memang dikenal polygot, dan mampu berbahasa Jerman, Polandia, Indonesia, latin, Yunani, Ibrani, Inggris, Belanda, Prancis, serta bahasa Palue dari NTT. Menurut Prof. Glinka, agar siswa di Indonesia berhasil dalam belajar bahasa asing, maka guru yang mengajari mereka harus memiliki bakat dan mampu belajar secara sistematis. Dikatakah olehnya, bahwa siswa tidak boleh mendapat pelajaran bahasa dengan cara yang sembarangan. Setiap ilmu itu, ada metodenya. 

"Kalau guru tidak disiapkan secara metodologis, dan tambah lagi bahasanya asal-asalan saja, ya begitu. Di Polandia,mahasiswa asing yang belajar bahasa Polandia dimasukkan ke asrama. Dua minggu loudspeaker berbunyi nonstop bahasa Polandia. Lagu, berita, cerita, dan sebagainya. Mereka tidak mengerti apa-apa. Begitu mulai kuliah, bunyinya mereka sudah tahu. Mereka hanya tinggal belajar arti kata-kata. Toh, kita belajar bahasa sebagai anak (karena bahasa ibu,red.) bukan dari grammar," demikian ungkap Prof. Glinka.

BERITA LAIN

Tantangan Pendidikan di Negara Berkembang

Memperkuat Daerah, Melalui Guru Garis Depan

Menadah Inspirasi dari Prof. Dyson sebagai Guru Sejati

Dayang Sumbi, dan Eksistensi Usaha Tanaman Obat

Profesor Ramah itu, Telah Berpulang

 

Foto:  news[dot]unair[dot]ac[dot]id

Sumber berita: hurek[dot]blogspot[dot]com dan news[dot]unair[dot]ac[dot]id

Share :



Post Comment