Bagaimana Pandemi Coronavirus dapat Mengubah Cara Hidup Kita?
Prof. Paul Stoller, Ph.D. || Seorang guru besar Antropologi di West Chester University of Pennsylvania
Sebagian besar dari kita menghadapi banyak kesulitan dalam hidup — tekanan finansial, kehilangan pekerjaan, perceraian, kematian dini pasangan atau orang tua. Peristiwa hidup yang menyakitkan dan meresahkan tersebut, mengalihkan hidup kita ke jalan yang tak terbayangkan, yang dipenuhi dengan stres dan rasa sakit. Seperti kebanyakan orang, saya telah mengalami sejumlah peristiwa menyakitkan: diskriminasi agama, orang yang dicintai melakukan bunuh diri, perceraian, dan kematian orang tua. Saya juga telah didiagnosis dan dirawat untuk Non-Hodgkin Lymphoma (NHL), berupa penyakit kanker darah yang saat ini oleh sebagian besar orang diklasifikasikan sebagai sesuatu yang tidak dapat disembuhkan. Pengalaman yang mengubah hidup ini, kemudian telah membentuk jalan hidup pribadi dan profesional saya — dengan cara yang tak terduga.
Hidup saya sebagai seorang antropolog, telah memberi saya perspektif khusus tentang peristiwa-peristiwa kehidupan yang secara eksistensial mengganggu. Pada saat awal-awal melakukan penelitian lapangan di Republik Nigeria, yakni salah satu negara termiskin di dunia, saat itu saya harus menghadapi konsekuensi psikologis dan eksistensial dari wabah meningitis. Hal ini selalu terjadi selama musim kemarau yang panas — dari bulan Maret hingga hujan pertama di bulan Juni. Dalam kondisi panas dan kering yang sempurna untuk penularan penyakit, beberapa mahasiswa saya, beberapa teman saya, dan banyak anak kecil lainnya, kemudian jatuh sakit.
Banyak Anak-Anak Telah Meninggal Dunia
Satu tahun berjalan, selama wabah yang sangat buruk menimpa, saya menyaksikan prosesi harian dari pria dan wanita yang ada di sana, membawa orang yang baru meninggal dunia, ke tempat peristirahatan terakhir mereka. Pria-pria berjalan dengan senyap, tatapan mereka pun tertunduk. Para wanita tampak meratap, ketika mereka menemani orang-orang yang mereka cintai ke pemakaman. Selama wabah itu menimpa, terdapat seorang laki-laki yang bermukim di desa tempat dimana saya tinggal. Obrolan di antara kami pun terhenti, menjadi sunyi senyap. Kami bertanya-tanya, apakah kami akan menjadi yang berikutnya? Turut bertanya-tanya, apakah juga merasakan sesak pada otot leher, apakah itu gejala meningitis? Suatu hal yang tak terlihat dan senyap. Momok meningitis menempatkan hidup saya dalam risiko, ancaman mendalam yang memaksa saya untuk mempertimbangkan tentang hal apa yang penting dalam hidup saya.
Selama satu tahun menjalani fieldwork di Nigeria itu, saya juga hidup di tengah epidemi kolera. Sementara penularan bakteri dan atau virus meningitis berasal dari kontak dekat dengan orang lain yang terinfeksi -- kolera menular antar manusia melalui air atau makanan yang terkontaminasi.
Tahun itu, banyak orang di wilayah Tillaberi menjadi korban penyakit kolera. Menanggapi banjir pasien kolera baru, pemerintah daerah, yang tidak memiliki dana yang memenuhi untuk menghadapi tantangan wabah, mendirikan rumah sangat sederhana di desa- dimana itu adalah tempat yang mengerikan untuk dapat membuat orang menjadi sakit dan sekarat. Desa yang ada dalam kondisi buruk tersebut, dibangun di dekat dengan kompleks gundukan dimana tempat saya tinggal. Dari markas kami, kami dapat mengamati kedatangan ratusan korban dalam kondisi tubuh yang kurus, dibungkus kain kotor, diangkut dengan gerobak yang ditarik oleh keledai, menuju ke desa yang tengah dilanda wabah kolera. Bau busuk dari desa kecil itu, memenuhi inderaku dan menghantuiku hingga hari ini. Selama masa-masa penularan itu berlangsung, diskusi difokuskan pada timbulnya serangan kolera, komposisi pengobatan, dan tingkat kematian, yang melonjak di daerah pedesaan Nigeria yang sangat miskin. Bayangan serangan kolera pada masa yang panjang, menaungi kita semua saat itu. Meskipun memiliki hak istimewa relatif di antara orang- orang miskin dan melarat di sana, namun saya tetap bertanya-tanya tentang keamanan air dan makananku. Apakah saya akan menyerah pada kolera? Sekali lagi, ancaman wabah memaksa saya untuk memikirkan apa yang penting dalam hidup saya: cinta, keluarga, dan kontribusiku, betapapun kecilnya, bagi komunitas dan profesiku.
Kita sekarang hidup dalam pandemi coronavirus COVID-19. Virus mematikan telah menyebar secara eksponensial, dan seakan tidak ada ujungnya. Kekhawatiran yang meresahkan telah meluas di atas kehidupan kami dan komunitas kami. Apakah kita, tanpa disadari, adalah pembawa virus yang telah menulari orang yang kita cintai dan teman-teman kita kepada coronavirus COVID-19? Ini adalah kenyataan yang sulit untuk ditanggung. Meski begitu, kami tidak tahu apakah kami akan terinfeksi atau tidak. Dan jika kita terinfeksi, kita tidak tahu apakah penyakit kita akan serius — atau bahkan mematikan. Kita, pada kenyataannya, hidup di saat ketidakpastian yang menghancurkan, dimana kita diminta untuk mempraktikkan social distancing — cara yang baik untuk memperlambat laju penularan. Konser telah dibatalkan. Acara olahraga telah ditunda. Bioskop sudah gelap. Di toko bahan makanan, sulit menemukan roti, air, telur, susu, dan tisu toilet.
Kita telah dibatasi untuk berpergian. Banyak tempat latihan kebugaran dan restoran ditutup. Universitas telah mengosongkan asrama mereka dan telah beralih ke pendidikan jarak jauh. Sekolah negeri dan swasta telah menutup pintu mereka. Seluruh populasi Italia, Spanyol, Prancis telah dikunci (lockdown). Di tempat saya tinggal, orang-orang disuruh tinggal di rumah — semua mengandung virus yang senyap dan tak terlihat. Jika skenario surealis ini bukan akhir dari dunia, itu mungkin juga akhir dari kehidupan sosial seperti yang kita kenal.
Pemikir surealis Prancis yang terkenal, Antonin Artaud, berpikir bahwa sebagian besar dari kita menjalani hidup dalam keadaan setengah sadar. "Kamu terlihat tetapi kamu tidak melihat," seperti yang pernah dikatakan seorang tetua yang bijaksana di antara orang-orang Songhay yang ada di Nigeria dan Mali. "Kamu mendengarkan tetapi kamu tidak mendengar. Kamu menyentuh tetapi kamu tidak merasakan". Memang, rutinitas kehidupan sehari-hari dapat mematikan rasa kepekaan kita. Setiap hari, kebanyakan dari kita bangun, pergi ke sekolah atau bekerja. Pada tengah hari, kita makan siang. Di akhir hari, kita kembali ke rumah, menikmati makan malam, menikmati malam dengan menonton televisi atau streaming film. Kadang-kadang kita menghentikan rutinitas. Kita bergaul dengan teman-teman kita. Kita pergi makan malam, minum-minum di bar favorit kita, atau menghadiri acara olahraga atau juga konser.
Rutinitas ini, untuk semua maksud dan tujuan, kehidupan sosial seperti yang kita harapkan akan terungkap. Ketika harapan-harapan itu ditumbangkan — oleh wabah meningitis, epidemi kolera, atau pandemi coronavirus — kita dipaksa untuk mengubah rutinitas kita dan mengkonfigurasi ulang harapan pribadi dan sosial kita. Menghadapi kemungkinan penyakit atau kemungkinan kematian, banyak dari kita terpancing untuk memikirkan apa yang penting, tentang apa yang mungkin kita lakukan untuk keluarga kita, tetangga kita, masyarakat kita.
Kita akan mengalami turbulensi penuh pandemi. Akan ada isolasi, kebingungan, kesakitan, penderitaan, dan kehilangan. Namun keadaan seperti itu juga akan dapat memicu refleksi diri yang jujur, sehingga dapat mendengarkan secara mendalam, menjalani perubahan eksistensial, dan bahkan transformasi sosial. Kesulitan menghadapi pandemi dapat menyebabkan perubahan dalam menjalani pandemi. Terperangkap dalam masa yang tidak menentu, antara masa lalu dan masa depan kita. Mungkin kita dapat mengambil waktu untuk menyambung kembali, dan untuk memparafrasekan T.S. Elliot, mengenali diri kita untuk yang pertama kalinya.
Sumber:
Diterjemahkan dengan tujuan untuk penyebaran ilmu pengetahuan, dari artikel asli berjudul Pandemic Hardship/Pandemic Change: How the coronavirus pandemic can change how we live, yang telah diposting pada 16 Maret 2020 dalam psychologytoday[dot]com.
Ilustrasi Foto:
Paul Stoller dalam psychologytoday[dot]com