Lingkar Berita Pendidikan Indonesia

Gajah Mada vs Kebo Iwa, Menyatukan Nusantara

M. Iwan Abdillah, S.Sos, S.H., M.Si. || Saat ini menjabat sebagai Camat Jetis, Mojokerto, Jawa Timur.

     Ada yang membuat saya takjub dan hampir tidak percaya saat pemandu wisata bercerita kisah Kebo Iwa dalam perjalanan di Bali beberapa waktu lalu. Bus pariwisata yang saya tumpangi saat itu melintasi jalur dalam kota Gianyar. Terlihat patung besar Kebo Iwa yang berada di median jalan. Jika bukan karena figur super hero, mungkin tidak akan diabadikan menjadi patung yang menjadi ikon kota ini. 

     Kebo Iwa (dibaca iwo, orang bali juga menyebut iwe) adalah seorang Patih dari kerajaan Bedahulu Bali. Sosok sakti dengan tubuh besar dan kekar yang berjanji selama nafas masih dikandung badan, tak akan ada kerajaan manapun menguasai Bali. Termasuk Majapahit. Majapahit kala itu sedang gencar-gencarnya melancarkan ekspansi ke wilayah-wilayah kerajaan lainnya. Bali menjadi salah satu nama wilayah yang masuk dalam teks sumpah palapa Gajah mada. Sumpah tidak akan melepaskan puasa sebelum menyatukan nusantara. Menjauhkan dari kenikmatan duniawi. Fokus pada cita-cita besar bukan sekadar penaklukan tapi membangun bangsa besar. 

Cita-Cita Luhur, Mempersatukan Nusantara

     Gajah mada terinspirasi cita-cita Raja terakhir Singosari, yakni Prabu Kertanegara yang menginginkan Kerajaannya menjadi besar bahkan lebih besar dari Kerajaan Sriwijaya. Menjadi pusat peradaban di zamannya. Namun sayang keinginan Kertanegara itu kandas setelah Jayakatwang menyerang saat semua lengah terbuai kenikmatan dunia. Kertanegara dan pejabatnya terbunuh dalam peristiwa itu. 

     Masih cerita tentang Gajah mada, konon saat masih kecil punya nama Dipa itu pernah mendapat ilmu dan pengajaran dari seorang Brahmana Anuraga. Siapakah Anuraga ini? Dia adalah putra Ronggolawe. Anuraga punya nama lain Kuda Anjampiani. Nah, kalau Ronggolawe? Masak ga pernah dengar? Dia adalah seorang pahlawan karena andil besarnya mendirikan kerajaan Majapahit dan pengabdiannya pada Nararya Sanggramawijaya. Disisi lain dianggap pemberontak karena menolak pengangkatan Nambi sebagai Patih Majapahit. Seperti dua sisi uang koin, bergantung dari mana melihatnya. 

       Memang hidup tidak ada yang kebetulan. Siapa sangka bila Gajah Mada kecil itu, berinteraksi dengan anak Ronggolawe, keturunan pimpinan prajurit keraton Majapahit
yang juga pada akhirnya nanti Gajah mada sendiri akan berinteraksi di dalam keraton bahkan menjadi tokoh berpengaruh pada masa keemasan Majapahit. Balik ke Kebo Iwa Bali. Setelah sekian lama muter-muter dengan paman Gajah mada. Siapa sangka juga, pada akhirnya Gajah Mada harus berhadapan dengan Kebo Iwa yang sakti itu. Setiap kali menyeberang via Blambangan yang lebih dahulu sudah di kuasai Majapahit. Serangan prajurit Majapahit selalu dihadang pasukan Kebo Iwa di selat Bali. Belum kesampaian mendarat di bumi Bali. Pasukan Gajah mada sudah dipukul balik. 

     Kecerdasan Gajah mada diuji dalam ekspansi kali ini. Bali sulit di tembus dengan strategi perang konvensional. Dalam sebuah peperangan strategi apapun bisa dilakukan. Karena dewa-nya adalah kemenangan itu sendiri. Gajah mada sadar penghalang utama nya adalah sosok patih Kebo Iwa. Maka dengan merubah taktik menjadi intrik. Ada yang menulis taktik ini sebagai Tipu Muslihat. Sama halnya Belanda (ratusan tahun pasca Majapahit) dalam memenangkan perang Diponegoro, juga menggunakan siasat tipu muslihat.

     Gajah Mada kemudian berhasil masuk ke Bali. Dengan diantar patih Kebo Iwa, menghadap sang Raja Bedahulu Bali. Kerajaan Majapahit yang kala itu rajanya adalah Tribuana Tunggadewi, ingin menawarkan perdamaian dan kerjasama. Tanpa curiga, Raja Bali menerima tawaran baik itu asalkan Bali tidak dalam penguasaan Majapahit. Sebagai penghormatan dan tindak lanjut perdamaian, Majapahit mengundang patih Kebo Iwa untuk datang ke Majapahit. Nah disinilah intrik semakin seru. Kebo Iwa diberi hadiah seorang istri cantik bila mau datang ke Majapahit. Berangkatlah sang patih Bedahulu itu dengan niat baik. Kadang niat baik saja tidak berbanding lurus dengan hasil akhir yang diinginkan. Karena begitu lah hidup. Ada saja hambatan dan tantangan. 

     Sesampainya di Majapahit, Kebo Iwa disambut maha patih Gajah Mada. Sambutan hangat yang diberikan Majapahit pada tamu yang nantinya bisa membuka pintu penguasaan Bali itu. Prajurit Majapahit seakan takjub dengan postur Kebo Iwa yang konon tingginya mencapai empat meter. Saatnya memenuhi hadiah yang dijanjikan. Ada beberapa versi disini. Hadiah istri itu ada yang bilang fiksi. Karena postur Kebo Iwa yang besar itu tidak ada perempuan yang sebanding. Hmmm...ga bisa dibayangkan. Kerisnya Kebo Iwa, konon panjangnya saja mencapai dua meter lebih.

     Gajah Mada, kemudian mengajak Kebo Iwa untuk menemui calon Istrinya di sebuah Desa bernama Lemah Tulis. Dimanakah lokasi lemah tulis? Seperti mirip nama tempat padepokan mpu Barada seorang Brahmana sakti di era Airlangga. Jauh sebelum masa Majapahit. Konon Lemah Tulis sekarang menjadi desa Watu Tulis di Kecamatan Prambon Kabupaten Sidoarjo. Mungkin ini yang agak logis karena relatif dekat pusat Majapahit di Trowulan. 

     Belum sampai rombongan Gajah Mada dan Kebo Iwa beserta para prajurit Majapahit di tempat tujuan. Ditemukan desa yang kekurangan air. Saat itu Gajah mada meminta bantuan Kebo Iwa untuk membuatkan sumur. Kebo Iwa yang punya kemampuan mengeluarkan sumber air hanya dengan telunjuk yang di sentuhkan ke tanah itu, menerima permintaan Gajah mada. Mulailah penggalian di lakukan, air tak kunjung keluar. Bahkan sampai seluruh tubuh Kebo Iwa sudah tak kelihatan lagi. Saat itu pula saat tepat melenyapkan Kebo Iwa. Semua prajurit Majapahit melempari batu dari galian tadi untuk menimbun Kebo Iwa. Apa yang terjadi? 

     Setelah semua tertutup batu, terjadi hal aneh. Batu-batu itu pun bergetar, dan seakan terangkat hingga keluar sumur. Dengan kesaktiannya, Kebo Iwa bisa meloloskan diri dari sumur itu. Kemarahan Kebo Iwa memuncak. Menyadari ini jebakan. Terjadi duel head to head antara Kebo Iwa dengan Gajah mada. Sama-sama kuatnya. Saat patih Gajah Mada mulai terdesak, maka berkatalah Gajah mada dengan lantang "Kebo Iwa kamu adalah penghalang Majapahit untuk menyatukan Nusantara!" Mendengar kalimat itu Kebo Iwa spontan berpikir dan kemudian berkata, "Jika memang niat patih Gajah Mada seperti itu, aku rela berkorban untuk Nusantara, tapi selama nafasku masih di kandung badan, siapapun tak ada yang boleh menguasai Bali!" Sesaat kemudian Kebo Iwa pun berujar, "Ketahuilah kelemahanku ada pada kapur sirih. Lemparkan kapur sirih itu padaku. Maka kekuatanku akan sirna!". 

     Mendapat informasi kelemahan Kebo Iwa itu salah satu prajurit Majapahit yang gemar menginang langsung memberi kapur sirih pada mahapatih Gajah Mada. Saat itu pula kapur sirih di lemparkan dan Kebo Iwa dapat dikalahkan. Ada beberapa versi kekalahan Kebo Iwa. Tubuh Kebo Iwa yang sudah tidak kebal lagi itu tertusuk keris Gajah mada. Ada juga yang menceritakan setelah di lempar Kapur itu tubuh Kebo Iwa muksa atau sirna.

Berkorban Demi Bersatunya Nusantara

     Yang membuat saya terhenyak itu, betapa kerelaan dan keikhlasan Kebo Iwa, demi bersatunya Nusantara. Sikap yang sangat diperlukan dalam situasi dan kondisi negara kita saat ini. Demokrasi itu hanya alat memilih pemimpin negeri, dan bukanlah sarana pemecah belah bangsa. 

     Jadi ingat pelaksanaan Diklat seminggu kemarin di Jakarta. Serasa kembali ke pulau Bali, kali ini kegiatan OL (Orientasi Lapangan) yang biasanya dilakukan pasca Diklat, menjadi titik balik pembelajaran. Implementasi tugas Pamong praja sebagai pelaksana Kebijakan publik, pelayan publik dan sekaligus titik tekan cerita yang panjang ini, adalah kita sebagai Pemersatu NKRI !

 

Ilustrasi Foto : Karya seniman Jetis, Mojokerto; Haris Poerwandi.

Share :



Post Comment