Politik, Wanita, dan Pendidikan
Sherly Deasy Anjuwita Gultom, S.Sos, M.Sosio. || Saat ini aktif sebagai Wakil Kepala bidang Kurikulum SMA Kristen Gloria 1 Surabaya
Politik merupakan kata yang sering muncul dan bahkan menjadi tema utama di setiap pembicaraan atau menjadi bahan diskusi ringan maupun berat disetiap kalangan masyarakat. Terminologi politik itu sendiri memiliki makna sebagai proses atau cara mendapatkan atau biasa kita sebut dengan istilah power struggle, menggunakan dan mempertahankan kekuasaan (Budiardjo, Miriam, 2003). Politik merupakan bagian tata cara permainan "catur" sosial yang hanya biasa dilakukan oleh kaum laki - laki. Bagaimana dengan wanita? Menjadi sebuah pertanyaan tersendiri, ketika wanita dapat mengambil alih kewenangan dalam politik itu sendiri.
Tahun 2019 merupakan tahun politik yang cukup keras dalam proses keberlangsungannya di Indonesia. Penggalangan massa tidak hanya melibatkan kaum laki - laki, namun keterlibatan kaum wanita dan bahkan muncul jargon ‘para emak’, serta anak - anak pun menjadi satu target tersendiri untuk memenangkan suara. Politikus dan para tim sukses suatu kandidat tidak berhenti berkarya dan membatasi diri pada wilayahnya saja, namun wilayah yang sewajarnya tidak perlu untuk disentuh ternyata menjadi bagian dari target utama dalam proses pencapaian suara. Apapun akan dilakukan untuk meggalang suara sebanyak – banyaknya guna memenangkan junjungannya.
Dunia pendidikan pada jenjang menengah atas atau SMA mejadi salah satu target utama dalam usaha penggalangan suara. Pengenalan akan pentingnya pendidikan politik seharusnya tidak hanya berlaku pada institusi resmi tersebut. Keluarga merupakan bagian mendasar pada proses pengenalan pendidikan politik yang pertama harus dapat mengakomodasi dengan baik proses tersebut.
Wanita pada budaya timur merupakan sosok pemegang peran domestik dalam keluarga. Peran domestik ini tidak terlepas pada fungsi wanita akan tugas pemelihara, pemenuh kebutuhan hidup bahkan pada tugas pensosialisasi nilai dan norma. Budaya timur erat kaitannya dengan sistem patriarki, dimana masyarakat patriarki menurut Rosemary Radford Ruether (1996) adalah masyarakat yang dasar prinsipil pengaturan sosial, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat secara keseluruhan ada di tangan bapak (laki – laki). Ranah publik yang melekat pada kaum pria pada dasarnya menjelaskan dan melegalkan bahwa seluruh tanggung jawab domestik pembetukan karakter seseorang itu ada di tangan wanita (ibu).
Pada titik ini pembelajaran akan pengetahuan tentang dunia politik perlu dipahami oleh setiap kaum wanita sebagai modal mereka untuk mengedukasi anggota keluarga mereka terlebih anak - anak mereka. Jika sosok wanita atau ibu kurang memahami makna dan eksistensi politik itu sendiri, tidak menutup kemungkinan pola perilaku perpolitikan suatu bangsa akan mengarah pada suatu pandangan dan perilaku menyimpang dalam sebuah proses berpolitik. Kaum wanita yang memiliki pengetahuan cukup akan politik, secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan pembelajaran maupun contoh konrit pada proses perpolitikan dan keluarganya. Pembelajaran akan pentingnya hak bersuara, pengimplementasian suara, penentuan keputusan akan dengan sangat mudah dan gamblang serta objektif ketika kaum wanita memiliki wewenang tersebut. Tidak dipungkiri ketika wanita diposisikan hanya sebagai pengikut dalam ranah perpolitikan, maka batas pengetahuan mereka hanya sebatas sebagai pengikut tersebut. Tidaklah heran ketika apa yang mereka ketahui (terbatas) akan mereka edukasikan kepada anak – anak mereka yang pada akhirnya akan menciptakan sebuah generasi yang terbatas pemahamannya tentang dunia politik. Sikap subjektifitas yang tinggi akan menciptakan suasana dunia perpolitikan yang tidak sehat. Ironisnya subjektifitas tinggi akan melihat bahwa ego ataupun kandidatnya menjadi kelompok yang layak dielu – elukan tanpa batas dan melihat lawan sebagai sosok yang pantas dijatuhkan.
Di sinilah diharapkan peran perempuan menjadi sosok peran yang bertanggungjawab pada pola pembelajaran politik paling mendasar. Perempuan sebagai agent of change memiliki peran yang sangat besar bagi perkembangan proses perpolitikan sutau bangsa. Perempuan yang memiliki pengetahuan yang lebih dan benar akan menjadi agen perubah yang berdampak kearah positif sehingga penghargaan dan toleransi yang besar pada keberbedaan akan menciptakan heterogenitas yang indah pada sebuah pilihan politik.