Lingkar Berita Pendidikan Indonesia

Apa yang Salah dengan Virus Cina?

Prof. Hugh Gusterson || Guru besar Antropologi dan Hubungan Internasional di George Washington University

Kebanyakan orang Amerika menerima begitu saja informasi pada 1960-an, bahwa lebih dari 58.000 tentara USA tewas dalam Perang Vietnam. Padahal di Vietnam, tidak ada yang namanya Perang Vietnam. Di sana, hal itu dikenal sebagai "Perang Amerika."

Para antropolog telah mengetahui selama puluhan tahun bahwa nama-nama yang kita berikan pada banyak hal bisa memiliki konsekuensi. Kata-kata dan nama-nama, akan menentukan blok-blok pembangun, perihal dari mana kita mengasumsikan bagaimana dunia dibuat. Mereka menjadi akal sehat kita. Namun kata-kata yang tampak jelas, sebenarnya mengekspresikan sudut pandang kita. Hal ini hanya dapat menjadi terang benderang, manakala kita menyadari bahwa orang lain memiliki blok bangunan yang berbeda, atau ketika sebuah istilah diperdebatkan.

Haruskah seorang wanita disebut sebagai Ms, Mrs, atau Miss? Haruskah SIM dan paspor menawarkan dua atau lebih opsi gender kepada seseorang? Apakah alcoholism adalah "penyakit"? Apakah masalah, jika atasan Anda memanggil Anda dan rekan kerja Anda "girls", meskipun Anda semua telah berusia 40 tahunan?

Dan sekarang, dengan pandemi coronavirus yang baru, kami juga memiliki kontroversi baru terkait penamaannya.

Sementara para ahli medis, telah memberi label virus tersebut dengan judul klasifikasi formal, sebagai SARS-CoV-2. Kebanyakan media, menyebut penyakit ini sebagai COVID-19. Pada sisi lain, presiden USA Donald Trump berulang kali menyebutnya sebagai "Virus Cina." Seorang fotografer pers yang kritis, bahkan menggunakan foto pernyataan Trump yang sudah diedit, dimana ia mencoret "Corona" dan kemudian menambahkannya dengan tulisan "China".

Rekan-rekan Trump juga menyebut penyakit itu sebagai "Virus Wuhan" dan "Kung flu." Sementara senator John Cornyn (R-TX) mengatakan "Cina yang harus disalahkan" untuk epidemi, karena dalam budaya Cina "Orang makan kelelawar, ular, anjing dan hal yang semacam itu."

Dituduh oleh wartawan, anggota Kongres, dan pakar kesehatan masyarakat, terkait rasisme dalam penggunaan bahasanya, maka Trump menjelaskan terminologinya dengan mengatakan, "Ini sama sekali tidak rasis. Tidak, tidak sama sekali. Itu (memang) berasal dari Cina, itulah sebabnya. Saya ingin menjadi (melakukan hal yang) akurat."

Para pembelanya, menjelaskan dengan apa yang pernah dikenal sebagai flu Spanyol, juga berdasar pada tradisi yang merujuk wabah dalam istilah geografisnya. Sebelum memberikan penilaian, mungkin akan membantu jika mundur sejenak, dan bertanya, bagaimana penyakit lain mendapatkan namanya. Bagaimana kita telah memutuskan sebelumnya, untuk menyebutkan hal-hal yang dapat membunuh kita?

Banyak penyakit memiliki nama yang mencerminkan gejalanya. Tuberkulosis, dikenal sebagai “consumption” karena korbannya kehilangan begitu banyak berat badan, ketika sedang dikonsumsi oleh penyakitnya. Gondok atau Mumps, menyebabkan pembengkakan wajah yang membuat penderitanya bergumam ketika mereka berbicara, dan kata itu diduga muncul dari istilah Belanda untuk bergumam, yaitu mompelen.

Lalu ada Measles atau campak, yang berasal dari kosakata Inggris Tengah, dari kata Maselen, yang berarti "banyak bintik-bintik kecil." Poliomyelitis yang lebih populer sebagai "polio", berasal dari kata Yunani untuk polio yang berarti abu-abu, dan kata myelon yang berarti sumsum. Dan flu atau Cold, biasa disebut demikian, selama berabad-abad karena gejalanya meniru efek cuaca dingin (cold weather) pada kehidupan manusia.

Penyakit lain disebut dengan mengenang penemu mereka. Ini termasuk penyakit Parkinson, penyakit Huntington, sindrom Tourette, dan penyakit Crohn. Salmonella — diperoleh dari nama industri perikanan salmon — kemudian dinamai sesuai nama seorang dokter hewan yang menemukannya, yakni Daniel Salmon.

Beberapa penyakit mulai dikenal, terutama di kalangan orang awam, dengan nama yang mencerminkan prasangka etnis atau animus. Pada tahun 1860-an, dalam sebuah makalah yang berjudul "Pengamatan pada Klasifikasi Etnis Idiot," disebut apa yang sekarang kita kenal sebagai Down syndrome, tetapi dinamai Mongolism, akibat mereka yang menderita sindrom seperti itu diduga menyerupai wajah orang Mongolia. Istilah "Mongolism" ini bertahan sampai tahun 1980-an, tetapi sindrom itu sekarang telah dinamai dengan menggunakan nama dari salah satu penulis paper tersebut, yaitu John Langdon Down.

Penyakit dengan nama panggilan bermuatan etnis seringkali merupakan penyakit yang membawa noda amoralitas. Banyak negara yang terkena sifilis menyalahkan penyakit menular seksual ini, atas kelonggaran negara-negara tetangga. Bahasa Inggris, secara historis menyebutnya sebagai "The French disease." Kemudian Prancis membalas budi, dengan menyebutnya "la maladie Anglaise." Mereka juga menyebutnya "The Spanish pox." Lalu Rusia, menjulukinya sebagai "The Polish disease."

Kebetulan, sifilis diperkenalkan ke Amerika oleh penjajah Eropa, bersamaan dengan penyakit cacar. Mungkin karenanya, kita harus menamakannya "European infection."

Lantas, apakah Trump melakukan karakterisasi terhadap COVID-19 dalam hal tradisi ini? Komentator konservatif mengatakan tidak, dan menunjukkan bukti bahwa penyakit memang sering dinamai berdasarkan tempat asal mereka. Penyakit Lyme awalnya diidentifikasi di Lyme, Connecticut. Virus West Nile ditemukan di distrik West Nile di Uganda. Ebola muncul di dekat Sungai Ebola, di Republik Demokratik Kongo. Dan MERS (Middle East respiratory syndrome) pertama kali juga dilaporkan terjadi di Arab Saudi.

Komentator seperti itu terkesan benar, untuk membuat kita turut mengamati bahwa penyakit-penyakit lain memang diketahui berlabuh ke daerah-daerah tertentu, melalui nama mereka. Namun kita mungkin dapat mencatat bahwa penyebutan penyakit, biasanya juga menggunakan nama tempat, ketimbang klasifikasi etnisnya. Jadi, kita memiliki "Ebola," bukan "penyakit Kongo," dan "penyakit Lyme," bukan "penyakit Amerika." Saya membayangkan, beberapa orang Amerika mungkin akan terganggu jika orang di seluruh dunia menganggap penyakit Lyme sebagai "penyakit Amerika." Sebagaimana anggota kongres, Ted Lieu (D-CA) yang menyatakan bahwa, "Ada perbedaan antara mengatakan virus itu dari Cina dan mengatakan bahwa itu Virus Cina."

Selain itu, WHO mengutuk praktik penamaan penyakit berdasarkan tempat. WHO mengatakan sangat menyesal membiarkan istilah MERS masuk ke dalam sirkulasinya. Dalam pedoman resmi penamaan penyakit baru, WHO mengatakan, "kota, negara, wilayah, (atau) benua" harus dihindari dalam penyebutan nama penyakit, karena mereka secara tidak adil akan menstigmatisasi tempat-tempat itu. Daftar penyakit-penyakit seperti Lyme, MERS, dan flu Spanyol sebagai contoh nomenklatur yang tidak pantas.

"Flu Spanyol" adalah paralel terdekat dengan istilah yang diberikan oleh Trump terhadap "Virus Cina." Dan kondisi pararel tersebut, harusnya juga dapat memberi kita jeda.

Jenis flu ini, diperkirakan telah membunuh sekitar 50 juta orang, antara tahun 1918 hingga 1919, sebenarnya tidak berasal dari Spanyol, dan flu itu telah membunuh lebih banyak orang Inggris, Prancis, Jerman, dan Amerika, daripada orang Spanyol. Namun, negara-negara lain rupanya telah menyensor wilayah pandeminya, sementara Spanyol justru tidak melakukan, sehingga karenanya, flu ini menjadi diketahui melalui beberapa media di Spanyol.

The Times of London, menolak untuk melaporkan jumlah kematian akibat flu yang melanda pasukan Inggris, sembari membaptis penyakit dengan sebutan "Flu Spanyol," dan nama itu pun melekat. Padahal di sisi lain, banyak orang Spanyol malah menyebutnya sebagai "Flu Prancis." Saat ini, otoritas kesehatan telah mengakui adanya kesalahan nama, dan biasanya menyebut kondisi saat itu sebagai pandemi flu 1918.

Pelabelan COVID-19 sebagai "Virus Cina", sesuai dengan pergumulan geopolitik Trump terhadap Cina, serta pola yang biasa dilakukannya untuk mengidentifikasi orang asing non-Eropa, dengan penyebutan penyakit secara umum. Pada satu waktu, misalnya, ia mengatakan orang-orang Meksiko bertanggung jawab atas "penyakit menular yang luar biasa ... mengalir melintasi perbatasan." Mewakili COVID-19 sebagai invasi asing, juga memungkinkan Trump untuk dapat mengalihkan perhatian dari respons suram pemerintahannya sendiri, terhadap penyebaran penyakit itu di USA. Secara implisit, ia menambahkan kesalahan pada "orang lain" yang ditentukan secara etnis.

Terminologi oleh Trump, karenanya, kini mungkin memiliki konsekuensi terhadap keselamatan dan kesehatan masyarakat yang serius. Di USA, ada banyak laporan tentang orang dewasa dan anak-anak Asia-Amerika yang diserang, dilecehkan secara verbal, digertak, dan diludahi oleh orang tak dikenal, yang menuduh mereka telah membawa virus itu ke USA. Pada satu kasus, seorang pria di kereta bawah tanah di New York, bahkan telah menyemprotkan pewangi Febreze kepada penumpang lain yang berasal dari ras Asia.

Sementara itu, dalam tampilan ketidaktahuan yang mencengangkan, yang membahayakan kesehatan orang- orang yang diwakilinya, seorang pejabat terpilih di Kansas mengatakan bahwa social distancing tidak diperlukan, karena menurutnya, sangat sedikit orang Cina yang tinggal di Kansas.

Namun mungkin istilah seperti "Virus Cina" dan "Kung flu" beredar sebagian, karena nama resmi COVID-19 itu sendiri, sangat membosankan dan kering. Nama virus yang lebih mudah diingat, mungkin akan dapat menyuntikkan praktik penamaan yang menginfeksi tubuh politik.

Satu kemungkinan yang terjadi, adalah menamainya dengan nama binatang penyebabnya, hingga dari mana asalnya. Dalam kasus COVID-19, para ilmuwan menduga bahwa virus itu mungkin berasal dari kelelawar atau trenggiling, meskipun mereka mungkin juga tidak pernah tahu pasti. "Bat Virus" dan "Pangolin plague" memiliki pengikat yang lebih sesuai untuk penamaannya. Dan ada banyak preseden untuk nama-nama tersebut, seperti: penyakit sapi gila, flu babi, dan flu burung.

Namun, WHO melarang penamaan penyakit dari hewan, karena sebagian besar kerusakan ekonomi dapat terjadi pada sektor-sektor industri pertanian dan pasokan makanan yang terkait. Pengkambinghitaman terhadap kelelawar dan trenggiling, dikhawatirkan akan dapat menyebabkan orang-orang tergerak untuk membunuh hewan-hewan tersebut, sehingga akan lebih banyak lagi spesies yang terancam punah.

WHO juga melarang klasifikasi penyakit berdasarkan nama orang. Tetapi tergoda untuk membaptis ulang nama COVID-19 menjadi nama salah satu pahlawan pandemi, yakni Yong-Zhen Zhang dari The Shanghai Public Health Clinical Center & School of Public Health di Fudan University.

Pada 10 Januari 2020 lalu, tim dari Zhang di Shanghai, telah menerbitkan urutan DNA dari virus Corona pada platform terbuka, dan dengan berani segera merekomendasikan langkah-langkah kesehatan bagi masyarakat, tatkala pejabat Cina masih tidak melakukan apa-apa. Kala itu, pemerintah Cina masih menutup laboratoriumnya selama beberapa hari.

Genom yang dipublikasikan, kemudian dapat membantu para peneliti lain, untuk mengembangkan tes bagi virus. Dan dengan asumsi, pada suatu hari nanti kita akan dapat memiliki vaksin COVID-19. Dan itu terjadi, atas kepioneran dan keberanian politik dari Zhang. Jika penyakit ini memang harus diidentifikasi dengan Cina, maka biarkan penyakit itu dikaitkan dengan seorang pahlawan ilmiah dari Cina

 

Sumber:
Karya ini pertama kali muncul di SAPIENS di bawah lisensi CC BY-ND 4.0. Baca artikel aslinya di sini.
Ilustrasi foto:
Getty image dalam ei[dot]marketwatch[dot]com


 

Share :



Post Comment