Lingkar Berita Pendidikan Indonesia

Ingatkan Potensi Overtourism, Desa Wisata Bisa Belajar dari Hawaii


Banyak orang tentu sudah mengenal Hawaii. Sudah tak terhitung, berapa banyak film produksi Hollywood yang memilih Hawaii sebagai latarnya. Tentunya hal ini memantik kunjungan dari banyak wisatawan di seluruh penjuru dunia. Belum lagi, dampak dari kehadiran media sosial yang sanggup memobilisasi massa.

Hawaii Terbelit Overtourism

Namun apa yang terlintas di media sosial akhir-akhir ini, menyajikan informasi yang berbeda. Sebagaimana ditulis oleh Shannon McDonagh untuk Euronews Travel, bahwa saat ini banyak yang tengah mengungkapkan keprihatinan mereka terkait overtourism di Hawaii. 

Penduduk Maui kini dilaporkan tengah cemas, akibat ancaman denda sebesar $ 500 jika ketahuan menghambur-hamburkan air untuk hal-hal yang "non essential" seperti mencuci mobil, menyiram rumput atau melakukan aktivitas lain terkait air. Hal itu terjadi, manakala Maui sebagai pulau terbesar kedua di Hawaii dilaporkan telah mengalami krisis air.

Kondisi tersebut adalah salah satu masalah yang sedang dihadapi oleh Hawaii, akibat overtourism. Frances Nguyen untuk CNN Travel melaporkan, bahwa promosi wisata yang memasarkan Hawaii sebagai "playground full of escapist pleasures" diduga turut berkontribusi bagi permasalahan di Hawaii.

Masalah lain yang muncul, seperti ancaman kerusakan Haiku Stairs di pegunungan Koolau Oahu, kepunahan bagi anjing laut, kerusakan pantai dan teluk, hingga kemacetan, benar-benar telah memantik keprihatinan untuk masa depan Hawaii. 

Salah satunya dapat dicermati melalui cuitan Kainoa Keanaaina di twitter. Ia menyuarakan agar Hawaii segera melakukan isolasi diri dari dunia luar. Ketergantungan penduduk Hawaii terhadap pariwisata, menurutnya justeru merupakan penyakit. Sementara Ilima De Costa menyarankan adanya pembatasan penerbangan ke Hawaii. Ia mengaku prihatin, manakala untuk menekan penularan Covid, penduduk setempat diatur agar mau menjaga jarak. Namun pada sisi lain, sekelompok wisatawan masih dapat berjalan-jalan dengan bebas di beberapa sudut destinasi.

Kondisi Pandemi Mendorong Refleksi Diri

Hal menarik juga datang dari hasil survei yang dilakukan oleh Hawaii Tourism Authority (HTA) pada tahun 2020. HTA menyampaikan bahwa lebih dari separuh responden menyatakan sepakat, jika pariwisata ternyata lebih banyak mendatangkan masalah bagi mereka.

Padahal menurut Lauren Aratami, pada sisi lain penduduk Hawaii juga terkena dampak kerugian ekonomi akibat pandemi Covid-19 baru lalu. Namun ketika pandemi berlangsung, penduduk juga merasa lega, sehingga mengaku dapat mengeksplorasi pulaunya dengan tenang dan nyaman. Ternyata, relaksasi pariwisata semasa pandemi juga mampu mendorong masyarakat lokal untuk melakukan refleksi diri. Menyadari bahwa pariwisata ternyata tidak hanya berkutat pada kebutuhan ekonomis semata.

Bahkan penduduk Hawaii sempat berpikir, bahwa selamanya mereka akan tetap merasakan kesedihan. Akibat overtourism, anak-anak mereka terancam tidak akan dapat menikmati keindahan alamnya dengan tenang. Ruang sosial budaya penduduk, kian terhimpit oleh gelombang wisatawan yang datang silih berganti. Beban industri pariwisata kian membengkak, sehingga wisatawan telah bertumpuk melebihi kapasitas pulau.

Merujuk data tahun 2019, diketahui terdapat 10 juta kunjungan ke Hawaii. Padahal jumlah penduduk di Hawaii hanya sekitar 1,5 juta jiwa. Dilaporkan bahwa pada tahun 2021 lalu, kunjungan ke Hawaii bahkan telah mencapai lebih dari 80 persen, jika dibandingkan dengan angka kunjungan pada tahun 2019.

Selain pertumbuhan media sosial, kedekatan Hawaii dengan Amerika Serikat memang berpeluang besar untuk menyedot kunjungan wisatawan. Namun baru-baru ini, muncul desakan agar pemerintah dapat melakukan pengelolaan dengan lebih baik, demi masa depan Hawaii.

Desa Wisata Berpotensi Terkena Dampak Overtourism

Sementara secara terpisah, Dr. Yuniawan Heru Santoso dari Universitas Airlangga mengingatkan, bahwa apa yang terjadi di Hawaii adalah pelajaran berharga bagi Indonesia. Dosen pada Prodi Destinasi Pariwisata Universitas Airlangga tersebut menyatakan bahwa kunjungan wisatawan yang mengalami pertumbuhan eksponensial, akan berpotensi menelurkan gangguan dan kerusakan. Kejadian di Hawaii hendaknya dapat dijadikan rujukan untuk bisa melakukan langkah antisipatif bagi Indonesia. 

Menurut Yuniawan Heru, saat ini mayoritas pemasaran wisata yang ada di Indonesia masih mengusung konsep mass tourism. Masih bertujuan untuk membawa wisatawan sebanyak-banyaknya ke suatu destinasi. Padahal setiap destinasi wisata, tentu memiliki tatanan dan kapasitas yang berbeda.

Yuniawan Heru juga menyorot keberadaan desa wisata yang angkanya kini sudah mencapai 4.672 desa. Dikatakan olehnya, bahwa ribuan desa wisata tersebut juga berpotensi mengalami overtourism seperti yang dialami Hawaii. Kuantitas kunjungan, disarankan tidak selalu dijadikan tolok ukur keberhasilan. Wisatawan yang beradab dan bertanggung jawab adalah profil yang hendaknya disasar oleh desa wisata.   

"Kita bisa belajar dari apa yang dilakukan di Hawaii. Ketika hendak memasuki sebuah destinasi di sana, para wisatawan harus melakukan ritual semacam permohonan ijin sembari menunggu persetujuan dari tetua adat. Usaha memajukan desa wisata di sini, mestinya juga harus berpihak pada keberlanjutan lingkungan dan budaya setempat," terang Yuniawan Heru. 

Dikatakan olehnya, pendekatan budaya semacam itu merupakan salah satu langkah yang dapat diambil untuk memberikan edukasi terhadap wisatawan. Selain dengan memanfaatkan teknologi, kearifan lokal juga bisa digunakan sebagai bagian dari strategi ketika hendak melakukan pembatasan jumlah pengunjung.  

 


Sumber:
CNN Travel
The Guardian
Euro News Travel
Ilustrasi foto:
Desa wisata Simarosok, Kabupaten Agam, Sumatera Barat dalam kemenparekraf[dot]go[dot]id

 

Share :


Post Comment