Merasa Istimewa, Ketika Dokter Bisa Merawat Pasien Covid-19
Pandemi Covid-19 memang telah mengguncang dunia. Beberapa petugas medis, hingga kini masih terus berjuang di garis terdepan. Dengan tak kenal lelah, mereka tetap berusaha menjalankan sumpah profesinya. Bergumul dengan pasien dan memberikan layanan terbaik agar bisa menyelamatkan hidup mereka.
Kisah Inspiratif Dokter Muda yang Menangani Pasien Covid-19
Berikut adalah kisah yang disampaikan oleh Anita Chary, seorang dokter muda peserta program HAEMR (The Harvard Affiliated Emergency Medicine Residency Program) pada Harvard Medical School Teaching Hospital. Semacam program pendidikan klinis pada pendidikan dokter kegawatdaruratan. Saat ini ia sedang memasuki tahun ketiga dari empat tahun masa studi yang harus ditempuh.
Sebagian besar waktunya, ia habiskan di IGD. Setiap harinya ia harus menjalani shift selama sembilan jam di IGD (Instalasi Gawat Darurat) rumah sakit. Chary termasuk salah satu dokter yang kini berada di garis terdepan penanganan kesehatan masyarakat di Amerika Serikat.
Sebagaimana telah ia tuturkan kepada The Harvard Gazette, Chary mengaku bahwa beberapa minggu terakhir ia sering menerima pasien yang terkait dengan komplikasi, sehubungan dengan virus Corona. Karenanya, mereka butuh lebih banyak perawatan yang intensif.
Chary membagi pasien menjadi beberapa kategori. Baik itu pada mereka yang mengalami gejala virus seperti halnya yang dialami oleh pasien Covid-19, atau pasien yang telah didiagnosa positif. Kategori pertama adalah mereka yang dinyatakan cukup sehat dan dapat melakukan pemulihan di rumah. Kedua, mereka yang harus dirawat karena membutuhkan oksigen untuk bernafas. Ketiga, adalah pasien yang membutuhkan perwatan intensif, termasuk ventilator.
Menurutnya, sebagian besar pasien yang ditangani, masuk dalam kategori pertama dan kedua. Pernah suatu ketika, ia hendak memulangkan seorang pasien yang telah positif terkena virus Corona. Chary melihat, kadar oksigennya normal. Namun saat hendak diminta pulang, terlihat jelas dari wajahnya, ia seakan disiksa oleh pikiran, bahwa ketika pulang nanti, ia malah akan menginfeksi orang-orang tersayang di rumah.
Chary mengakui, bahwa itu adalah hal yang sangat sulit untuk ditanggung oleh pasien. Pada sisi lain, Chary menyadari bahwa masih ada pasien lain yang juga membutuhkannya kala itu. Banyak yang harus ia khawatirkan.
Ia bertutur, malah ada juga pasien yang berusia lebih muda, namun masih harus berada di ICU selama berminggu-minggu, dengan kondisi yang belum membaik. Chary mengaku, bahjan kini ia juga menangani pasien dari kalangan ekonomi menengah ke bawah yang berpenghasilan rendah.
Hal ini lantas membuatnya khawatir, manakala mereka ternyata juga bekerja dalam bidang kerja yang penting. “Mereka bekerja di toko bahan makanan, angkutan umum, custodial services, atau melakukan hal-hal seperti jasa pengiriman," ujar Anita Chary.
Menurutnya, mereka benar-benar berada di garis depan masyarakat, seperti halnya dirinya yang bekerja di rumah sakit. Bagi mereka, bekerja di rumah, bukanlah pilihan. Karena pekerjaannya itu, mereka akan sulit jika diminta untuk mempraktekkan social distancing. Demikian pula untuk melakukan isolasi. Hal ini karena mereka tinggal di apartemen yang sempit, bahkan cenderung menetap berama-ramai dengan anggota kerabat yang lain. Tak jarang, di sana juga ada anggota keluarga yang memang sedang sakit.
Saran dari Dokter Paliatif Menjadi Sangat Dibutuhkan
Sehubungan dengan Covid-19, Chary menemukan ada aspek unik dari penyakit tersebut. Berdasarkan catatan para dokter, banyak pasien yang begitu cepat mengalami penurunan kondisi hingga terus memburuk. Pada sisi lain, tingkat kematian yang tinggi ditemukan pada pasien yang justru dirawat dengan ventilator. Ada juga pasien yang harus meninggal dunia, bahkan setelah ditempatkan perangkat untuk memompa udara dari paru-parunya.
"Saya tahu bahwa kemungkinan dia akan pulih sangat, sangat rendah, dan saya pikir ada beban yang Anda rasakan ketika Anda merasa bahwa Anda akan menjadi orang terakhir yang berbicara dengan seseorang atau menghabiskan waktu dengan orang itu...," tutur Chary.
Karenanya, tim paliatif rumah sakit kemudian meminta Chary dan rekannya untuk merekam sepatah dua patah kata kepada keluarga yang dicintainya, sesaat sebelum ia dibius. Menurutnya, pengalaman yang paling ia ingat adalah ketika mendengarkan pasien yang sedang memberi kabar kepada keluarga, untuk menyatakan bahwa ia mencintai mereka dan hanya berharap akan dapat berbicara dengan orang yang mereka cintai lagi, kelak setelah mereka keluar dari ruang ventilator. Meski tidak ada satupun yang tahu, bahwa ia dapat keluar dengan selamat, ataukah tidak.
Perencanaan yang Cermat adalah Kunci
Chary mengaku beruntung, karena di IGD tempat ia bertugas, tidak ada pasien yang harus berbaring di selasar. Ia juga tidak mengalami kekurangan APD (Alat Pelindung Diri) atau ventilator. Ia biasanya melayani 15 hingga 20 pasien per shift. Namun akibat takut tertular virus, tingkat kepedulian masyarakat menjadi lebih baik, sehingga jumlah pasien yang sakit parah menjadi kecil. "Volume pasien di IGD menurun dalam beberapa minggu terakhir. Hari ini jumlah itu telah dipotong setengahnya," ungkap Chary.
Meski demikian ia harus tetap waspada, karena tempat ia bertugas terletak di dekat kawasan yang banyak memiliki tunawisma. Namun ia bersyukur, manakala kini telah tersedia fasilitas darurat untuk pasien non kritis, dengan kapasitas hingga 1000 tempat tidur.
Menurutunya, perencanaan yang cermat adalah kunci keberhasilan melawan pandemi. Rumah sakit tempat ia bertugas, kini merawat 159 pasien dengan jumlah 90 di antaranya membutuhkan perawatan intensif. Selain itu, untuk menjaga keamanan tenaga medis, jam kerja mereka kini juga telah dikurangi.
Rumah sakit tempatnya bertugas, telah menyediakan APD yang dibutuhkan. Untuk membatasi tingkat infeksi, rumah sakit juga membangun sekat darurat bagi pasien baru yang masuk. Para dokter juga diminta mematuhi protokol ketat, yang telah diikuti dalam beberapa minggu terakhir. Bahkan komunikasi dengan pasien dari luar, diawali melalui sambungan telepon terlebih dahulu. Ini untuk memastikan apakah mereka kemungkinan telah terinfeksi.
"Kadang-kadang pasien melaporkan sesuatu kepada perawat di depan, tetapi mereka menyangkal gejalanya (coronavirus)," imbuh Chary. Ketika pasien sudah diajak berbicara lebih jauh, petugas sudah dapat memperkirakan apakah mereka benar-benar sudah memiliki gejala virus, ataukah memang tidak.
Tenaga Medis Rentan Tertular
Memang jika merujuk pada laporan The Centers for Disease Control and Prevention, di Amerika Serikat telah ditemukan sejumlah 9000 tenaga medis yang kini telah terinfeksi oleh virus Corona. Chary menyebut, sejumlah koleganya memang telah positif, dan sedang menjalani karantina mandiri.
“Saya merasa, sepertinya saya harus tangguh pada saat ini, berharap yang terbaik dan berharap untuk beruntung. Saya rasa, kewajiban saya untuk merespons krisis, telah menggantikan kegelisahan tentang diri sendiri," ujar Chary dengan nada bergetar.
Namun hal itu bukan berarti ia tidak memperhatikan keselamatannya. Selepas bertugas di IGD, Chary selalu mendisinfeksi ponsel dan stetoskopnya. Lalu dengan cermat ia juga mencuci tangan, mulai lengan hingga ke ujung sikunya. Mengganti pakaian, dan langsung mandi setibanya di rumah.
Ia juga mengaku memiliki pegangan spiritual. Kedua orang tuanya selalu menekankan akan pentingnya melayani masyarakat. Chary memegang teguh pepatah, bahwa "Tangan yang melayani, lebih suci daripada bibir yang berdoa".
Sebelum berangkat bertugas, Chary selalu mengucapkan mantra,"Aku akan berbuat baik di dunia, hari ini!". Ketika hendak meninggalkan apartemennya, setiap hari ia memberi penegasan positif, bahwa dirinya tengah "melakukan sesuatu yang bermakna".
Merasa Istimewa, Ketika Bisa Merawat Pasien
Bagi orang lain, menghadapi krisis kesehatan di awal karir medisnya, mungkin adalah hal yang menakutkan. Namun bagi Chary, ia justru merasa istimewa. "Saya benar-benar merasa sangat istimewa dan beruntung, bahwa saya dapat berada di antara dokter yang melayani pasien saat ini, ketika mereka benar-benar membutuhkan kita untuk merawat mereka. Saya pikir banyak orang memilih dunia kedokteran dengan keinginan untuk bisa menyembuhkan orang sakit, dan saya merasa, (sebelumnya) seperti belum pernah bangga menjadi seorang dokter," tukasnya.
Sehubungan dengan penanganan Covid-19, Chary melihat ada harapan untuk dapat mengirim pasien kembali pulang ke rumah dalam kondisi sehat. Bahkan mereka tak perlu lagi khawatir, dapat membahayakan keluarganya di rumah. Pasien yang telah pulang, masih mendapatkan pantauan melalui telepon atau kunjungan virtual. Kini rumah sakit juga sudah melakukan sosialisasi secara virtual perihal cara terbaik untuk tetap aman dari virus Corona.
“Ini sulit, tetapi hal teraman untuk saya, orang yang saya cintai, dan masyarakat, adalah untuk tidak bepergian saat ini,” demikian pesan Chary.
Sumber:
news[dot]harvard[dot]edu
Tulisan asli adalah karya dari Colleen Walsh, yang kemudian diterjemahkan secara bebas untuk dapat menginspirasi masyarakat luas.
Ilustradi foto:
news[dot]harvard[dot]edu