Peneliti Singapura, Berhasil Simulasikan Intervensi Terbaik untuk Tangani Wabah Corona
Jika ingin belajar dari Singapura, terkait penanganan penyebaran wabah virus korona, maka simaklah hasil penelitian terbaru yang telah diterbitkan dalam The Lancet Infectious Diseases journal. Penelitian ini disebut sebagai penelitian pertama dari yang sejenis, yang mempelajari penggunaan opsi combined approach untuk intervensi awal penyebaran virus korona di Singapura, dengan menggunakan simulasi.
Pendekatan Paling Efektif Untuk Tangkal Wabah Korona
Melalui studi pemodelan yang baru dilakukan, disebutkan bahwa combined approach yang terdiri dari intervensi physical distancing, comprising quarantine untuk individu yang terinfeksi dari keluarganya, penutupan sekolah, dan workplace distancing, adalah pendekatan paling efektif dalam mengurangi jumlah penyebaran kasus virus korona, dibandingkan dengan skenario intervensi yang lain.
Pendekatan lain yang disebut juga efektif, adalah intervensi karantina plus workplace measures. Namun pendekatan ini, dinyatakan masih kurang efektif jika dibandingkan dengan combined approach. Pendekatan lain yang dilaporkan, adalah karantina plus penutupan sekolah, dan kemudian pendekatan melalui karantina saja. Namun kesemuanya, juga dinyatakan lebih efektif, ketimbang tidak melakukan intervensi apapun.
Combined Approach Diyakini Dapat Cegah Wabah Nasional
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa combined approach dapat mencegah wabah dengan tingkat infektivitas yang rendah. Meski disebut efektif dalam mengurangi warga yang terinfeksi, namun kasus penularan disebut juga masih dapat terjadi.
Dikatakan oleh Dr. Alex R Cook, dari National University of Singapore (NUS), jika upaya untuk membatasi keluar masuknya warga secara lokal, melarang kedatangan warga asing, hingga contact tracing dilakukan, namun masih tidak berhasil, maka hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi para pembuat kebijakan di negara lain. Diharapkan karenanya, tingkat penularan lokal akan dapat dikurangi, jika dilakukan secara efektif dan tepat waktu.
Penelitian ini juga memberikan parameter model yang menginformasikan bagaimana infeksi terjadi dari waktu ke waktu, ketika populasi masih tidak menunjukkan gejala, ketika virus sudah memasuki periode inkubasi rerata hingga 5.3 hari, hingga waktu yang dibutuhkan untuk tinggal di rumah sakit. Waktu rerata yang dibutuhkan pasien setelah gejala diketahui, disimulasikan akan membutuhkan 3.5 hari.
Usulan Skenario Intervensi
Penelitian ini juga mengusulkan empat skenario intervensi, yang dapat diterapkan jika local containment terjadi. Adapun skenario dasar yang digunakan, adalah ketika infeksi rata-rata pada hari ke-80 adalah 279.000, yang artinya setara dengan 7.4 persen dari populasi penduduk di Singapura.
Jika merujuk pada skenario dasar, maka combined intervention disebut adalah intervensi yang paling efektif. Combined intervention dinyatakan dapat mengurangi estimasi median jumlah infeksi sebesar 99.3 persen, ketika terdapat 1.800 kasus.
Empat skenario intervensi yang diusulkan, jika local containment gagal, adalah intervensi yang berupa isolasi individu yang terinfeksi, hingga memberlakukan karantina terhadap anggota keluarganya. Skenario kedua, adalah dengan melakukan karantina plus penutupan sekolah selama dua minggu. Skenario ketiga, adalah melakukan karantina, plus mengatur workplace distancing. Di sini sejumlah separuh dari tenaga kerja yang ada, akan bekerja di rumah selama dua minggu. Skenario keempat, adalah penutupan sekolah dan workplace distancing.
Namun jika upaya pencegahan dan intervensi mengalami tekanan, ketika misalnya proporsi kasus tanpa gejala dalam suatu populasi, lebih besar dari 7.5 persen, maka dapat terjadi lonjakan jumlah orang yang terinfeksi secara bersamaan, bahkan hingga melebihi fasilitas layanan kesehatan yang dimiliki. Untuk itu, Dr. Alex menyebut akan perlunya pendidikan publik dan manajemen kasus, termasuk segera memenuhi kebutuhan pengembangan vaksin dan terapi obat.
Peneliti menyebut kekurangan penelitian ini, terletak pada karakteristik epidemiologis dari Covid-19 yang tidak pasti. Khususnya dalam hal penularan dan profil infektivitas virus.
"Meskipun dasar ilmiah untuk intervensi ini mungkin kuat, (namun) pertimbangan etis (tetap) beragam. Yang penting, para pemimpin politik harus memberlakukan kebijakan karantina dan social distancing yang tidak bias terhadap kelompok populasi mana pun...," demikian komentar Joseph A Lewnard dari University of California, Berkeley, USA dan Nathan C Lo, dari University of California, San Francisco, USA.
Keduanya menyebut, bahwa ketidakadilan sosial dan ekonomi, bahkan yang dilakukan atas nama kesehatan masyarakat, dapat menimbulkan dampak yang lama. Perlu dipahami, bahwa intervensi akan dapat menimbulkan resiko penurunan pendapatan dan bahkan kehilangan pekerjaan. Jika dilakukan secara tidak proporsional, maka akan dapat menekan populasi yang tidak beruntung. Untuk itu, kebijakan yang dapat mengurangi resiko tersebut, tetap akan sangat dibutuhkan.
Perhatian khusus perlu diberikan kepada mereka yang rentan, seperti tunawisma, narapidana, orang yang lebih tua, orang cacat, atau migran yang tidak memiliki dokumen. Termasuk mereka yang saat terjadi penyebaran wabah, masih sangat tergantung pada perawatan medis yang sedang berlangsung.
Sumber:
Materi asli dapat diperoleh secara langsung dari The Lancet, atau akses informasi singkat melalui sciencedaily[dot]com
Referensi:
Joel R Koo, Alex R Cook, Minah Park, Yinxiaohe Sun, Haoyang Sun, Jue Tao Lim, Clarence Tam, Borame L Dickens. Interventions to mitigate early spread of SARS-CoV-2 in Singapore: a modelling study. The Lancet Infectious Diseases, 2020; DOI: 10.1016/S1473-3099 (20)30162-6
Joseph A Lewnard, Nathan C Lo. Scientific and ethical basis for social-distancing interventions against COVID-19. The Lancet Infectious Diseases, 2020; DOI: 10.1016/S1473-3099(20)30190-0
Ilustrasi Foto:
elshinta[dot]com