Indonesia Mampu Produksi Drone Militer
Jumat (3/1) baru lalu, dunia digemparkan oleh serangan militer Amerika Serikat yang menewaskan pemimpin Quds Force, Iran, beserta komandan milisi Syiah di Iraq. Saat baru bergerak meninggalkan bandara di Iraq, kedua mobil yang ditumpangi diserang oleh misil yang ditembakkan dari sebuah drone milik USA.
Sejumlah negara, langsung menyampaikan kecaman kepada USA. Konon perintah penyerangan tersebut, datang langsung dari Presiden Donald Trump. Akibat peristiwa tersebut, teknologi pesawat tanpa awak, muncul sebagai perbincangan utama di masyarakat. Maklum saja, kasus tersebut melibatkan dua negara maju di bidang teknologi pesawat tanpa awak. Bahkan Iran, konon termasuk salah satu negara yang pertama kali, kekuatan militernya, menggunakan teknologi pesawat tanpa awak.
Elang Hitam, Drone Buatan Indonesia
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Rupanya, Indonesia juga tengah mengembangkan beberapa program penting terkait dengan pengembangan teknologi pesawat tanpa awak. Yang terbaru, adalah elang hitam yang diproduksi bersama antara BPPT, Kementrian Pertahanan, TNI AU, ITB, PT DI, dan PT LEN Persero. Pada akhir tahun 2019 lalu, elang hitam melakukan roll out di hangar PT Dirgantara Indonesia. Rencananya, drone ini juga akan digunakan untuk memenuhi keperluan militer di Indonesia.
Pesawat tanpa awak berjenis drone tipe Male (medium altitude long endurance) ini, disebut telah dibangun oleh putra-putri Indonesia. Hebatnya, pesawat ini mampu terbang hingga 24 jam dengan pengendalian tanpa pilot. Meski uji terbang perdana masih akan dilakukan pada tahun ini, namun tahun 2020 juga akan ditargetkan untuk pembuatan dua unit prototipe yang lain. Pada tahun 2021, diharapkan sudah akan terbit sertifikat dari Pusat Kelaikan Kementrian Pertahanan RI.
Hal penting dalam pembangunan drone, adalah kebijakan tentang tingkat kandungan dalam negeri. Jika dijalankan secara konsisten, maka Indonesia diyakini akan dapat menguasai teknologi kunci dalam dunia drone. Dinyatakan oleh BPPT, bahwa teknologi kunci untuk drone, selama ini dikuasai oleh negara-negara maju. Teknologi itu, tentu tidak diberikan begitu saja oleh negara-negara maju.
Upaya mandiri dari anak bangsa, diharapkan akan mampu menguasai teknologi seperti Auto Take-Off Auto Landing (ATOL), Mission System, Weapon-platform integration dan Teknologi Komposit, Radar SAR, Inertial Navigation System (INS), Electro-Optics Targeting System (EOTS) hingga Guidance System.
Pesawat Tanpa Awak Buatan Indonesia
Akibat kian maraknya teknologi ini, maka sejak tahun 2018 beberapa negara seperti Turki, Cina, Prancis, dan bahkan Israel berpartisipasi dalam pelelangan pada proyek pesawak nirawak di Indonesia. Dalam hal ini Turki lebih berpeluang, karena sebelumnya telah menggandeng kerja sama pembangunan medium tank dengan pihak pemerintah Indonesia.
Produk pesawat tanpa awak yang lain, juga telah dikembangkan oleh PT DI. Selain elang hitam, terdapat drone lain bernama "wulung". Jenis pesawat nir awak ini, dapat menjalankan misi intelijen, pengawasan dan pengintaian. Bahkan wulung ini, dinyatakan sudah dirancang sejak tahun 2014 silam, dengan kemampuan terbang 2-3 jam non stop. Kala itu, penguasaan teknologi bahan komposit adalah kendala yang utama. Sehingga karenanya, Indonesia perlu bekerja sama dengan pihak lain yang terbiasa menjadi supplier bagi produsen pesawat dunia.
Selain elang hitam dan wulung, drone lain telah diperkenalkan saat upacara parade dan defile peringatan HUT TNI ke-74 di pangkalan Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Drone CH-4 rainbow pun berhasil tampil memukau. Sebelumnya, CH-4 ternyata telah digunakan dalam latihan gabungan di Situbondo. Drone yang dipersenjatai dengan rudal AR-1 itu, bisa terbang dengan radius of action 1500-2000 km.
Sementara Sriti, adalah pesawat nir awak kelima yang dibuat oleh BPPT. Selain wulung, sebelumnya juga ada Pelatuk, Gagak, dan Alap-alap. Sriti, adalah generasa awal yang mengemban beberapa misi dari pemerintah. Sriti berbahan bakr methanol, dan hanya mampu terbang selama 1 jam dengan kecepatan jelajah minimal 55 knot. Yang menarik, untuk keperluan pendaratan dan lepas landas, Sriti memerlukan Catapult Take Off sebagai launcher dan net catcher untuk keperluan pendaratan.
Sumber:
bppt[dot]go[dot]id
liputan6[dot]com
voaindonesia[dot]com
goodnewsfromindonesia[dot]com
gatra[dot]com
Ilustrasi foto:
bppt[dot]go[dot]id