Lingkar Berita Pendidikan Indonesia

Bagaimana Wabah Korona Dapat Berakhir?

Hingga hari Minggu (15/3) pukul 14.00 WIB, pemerintah Indonesia melaporkan terdapat 117 orang yang positif terjangkit virus korona. Sementara terdapat 1.167 orang yang kemudian dinyatakan negatif, 8 orang dinyatakan pulih, dan terdapat 5 korban jiwa. WHO juga melaporkan, bahwa terdapat lebih dari 100.000 kasus Covid-19 yang telah dikonfirmasi. Karenanya, terdapat lebih dari 3.400 kasus kematian. Kemungkinan jumlah korban kian bertambah, sangat besar. Hal ini disebabkan, terdapat banyak kasus yang tidak terditeksi maupun tidak terkonfirmasi.

Jika mencermati sejarah, pada tahun 1918 ternyata wilayah Hindia Belanda juga pernah diserang oleh wabah flu Spanyol yang menelan korban hingga 2 juta jiwa. Dalam doa yang dipanjatkan oleh jutaan penduduk Indonesia, tentu mulai bertanya-tanya, bagaimana wabah flu korona ini, kelak akan berakhir? Bagaimana akhir kisah dari kehadiran virus korona ini di Indonesia?

Dari sejarah nabi-nabi yang disimak dalam kitab-kitab agama samawi, penyelesaian atas wabah yang hadir, kebanyakan dilakukan secara alami. Bisa teratasi dengan kehadiran predator lain, atau melalui fenomena alam yang semula terkesan sebagai bencana lain, meski kemudian ternyata mampu menghancurkan wabah yang sebelumnya ada.

Skenario Containment

Lantas, bagaimana sains memprediksi berakhirnya petualangan corona virus? Merujuk pada berakhirnya wabah SARS pada tahun 2003, para ilmuwan menguraikan skenario kontainmen, yakni dengan cara mengidentifikasi mereka yang terjangkit, hingga kemudian mengisolasi pasien. Hal ini ditujukan untuk mencegah agar virus korona tidak menyebar pada komunitas lain di seluruh dunia.

Sebagaimana diberitakan oleh Vox, banyak ahli kemudian meragukan skenario tersebut. Media yang bermarkas di Washington ini menginfomasikan bahwa seseorang yang tidak menunjukkan gejala parah, ternyata dapat menyebarkan virus itu, secara diam-diam. Yang kedua, para peneliti tidak memiliki data yang lengkap, terkait dengan keterlambatan hasil diagnosa yang diharapkan bisa datang dari negara-negara seperti Italia dan Iran yang disebut memiliki jumlah korban yang besar.

Tara Smith, seorang ahli epidemiologi dari Kent State University menyebut bahwa saat ini kita sudah tidak dapat berharap terhadap upaya pengendalian. Ibarat kata, kuda sudah keluar dari lumbung.

Skenario Public Health Measures, Bekerja secara Online

DIketahui bahwa tindakan kesehatan masyarakat dapat menekan penyebaran, sehingga memberi waktu bagi para ilmuwan untuk menemukan solusi terbaik. Belajar dari pemerintah China, dengan adanya langkah dramatis dari pemerintah, misalnya terkait dengan penemuan kasus, strategi pelacakan kontak, serta penangguhan beberapa pertemuan yang melibatkan banyak orang, ternyata dapat mengendalikan penyebaran virus.

Sebagaimana juga telah diulas oleh The Washington Post, bahwa pemerintah USA juga sedang berupaya untuk meratakan kurva penyebaran virus. Kurva menjadi rata, ketika perkumpulan atau pertemuan yang melibatkan banyak orang, kian diatur dan dihindari.

Pemerintah di Washington, dilaporkan oleh Vox, telah memintah masyarakat untuk membatalkan kegiatan yang menyatukan lebih dari 10 orang, hingga merekomendasikan agar jika memungkinkan bekerja saja secara online (telework). Kemudian bagi mereka yang hamil atau berusia lebih tua dari 60 tahun, diminta untuk tinggal di rumah. 

Setiap individu dapat saling membantu memperlambat penyebaran virus,  dengan cara tinggal di rumah ketika merasa sedikit sakit atau bahkan ketika badan mulai merasa tidak nyaman. Membiasakan diri untuk mencuci tangan, dan terus mengikuti rekomendasi resmi Dinas Kesehatan, akan sangat diperlukan ketika harus bertemu dengan banyak orang. 

The Lucky Scenario

Faktor lain yang berpotensi untuk memperlambat penyebaran corona virus adalah perubahan musim. Covid-19 secara alami akan berhenti menyebar, ketika musim kemarau telah tiba. Mengingat saat ini masih berada di tengah musim hujan, maka hanya keberuntungan yang akan mempercepat datangnya musim kemarau.

Meski tidak semua, beberapa virus diketahui menjadi kurang menular, saat suhu dan kelembapan meningkat. Dan hal itu terjadi, pada musim panas. Kemungkinan, virus juga tidak akan mampu bertahan lama, jika permukaan bumi berada dalam kondisi panas.

Namun demikian, Maimuna Majumder, seorang ahli Epidemiologi dari Harvard University menemukan kondisi bahwa ketika China mengalami perubahan cuaca, ternyata hal itu tidak mempengaruhi penyebaran wabah korona. Hasil penelitian tersebut, masih tetap akan dipelajari, sehingga masih disebut sebagai data sementara. Perlu dilakukan penelitian lanjutan, terkait dampak dari suhu pada transmisibilitas.

Skenario Penggunaan Vaksin

Disebutkan oleh Vox, bahwa agar dapat mengakhiri wabah untuk selamanya, dibutuhkan antivirus berupa vaksin. Saat ini produksi vaksin, sedang berpacu untuk mencapai rekor pembuatan vaksi tercepat. Hal ini dimungkinkan, melalui penggunaan mRNA, yaitu teknologi vaksin baru yang tidak menggunakan virus dalam proses produksinya.

“Jadi tugas kami adalah mencoba mengembangkan intervensi yang dapat digunakan, jika (kondisi) semakin buruk... Kita membutuhkan cara untuk melindungi diri kita sendiri,” tukas Barney Graham, Wakil direktur NIAID, yakni sebuah pusat penelitian vaksin pada institut alergi dan penyakit menular.

Ketahanan Ekonomi dan Sosial Budaya

Selain menyebabkan jatuhnya korban sakit dan meninggal dunia, wabah corona virus juga berpotensi menimbulkan kerusakan lain. Oleh karena itu, diperlukan ketahanan ekonomi yang kuat. Dalam hal ini, pemerintah juga perlu untuk merancang strategi yang melindungi segenap warga negara Indonesia. Aksi penimbunan atau borong sembako, adalah salah satu kasus yang perlu dikawal oleh negara.

Wabah akan menyebabkan banyak pihak untuk meninggalkan kegiatan dan urusan pekerjaannya. Padahal, hal ini juga akan dapat mempengaruhi kekuatan masyarakat untuk membayar perawatan medis, hingga munculnya stereotip terhadap suku, etnis, atau pihak tertentu yang disebut sebagai pembawa penyakit.

Secara sosial budaya, dikhawatirkan tercipta sekat-sekat yang dikuatkan oleh media massa, sehingga celah sosial budaya akan terpublikasi dengan cepat. Jadi mereka yang rentan tidak hanya yang lemah secara imunitas, namun juga lemah secara ekonomi, hingga lemah secara sosio kultural. Hal demikian ini, memerlukan penanganan yang cermat dan adil dari pemerintah. Penanganan virus korona ini, akan dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi ketahanan sebuah keluarga, komunitas, hingga negara. Karenanya, keterlibatan ahli ekonomi, sosiologi, antropologi, dan psikologi, menjadi kian dibutuhkan.

“Saya pikir itu mungkin akan berakhir seperti halnya cara pandemi H1N1 2009 berakhir, yang tak lama setelah itu berakhir, orang akan kehilangan ingatan dan tidak khawatir tentang hal itu lagi,” demikian pungkas Angela Rasmussen, PhD., seorang Virologist dari Columbia University Mailman School of Public Health. 

 

Sumber:
Brian Resnick dalam Vox[dot]com
ksp[dot]go[dot]id
Ilustrasi foto:
Kena Betancur dalam cdn[dot]vox-cdn[dot]com
 

Share :


Post Comment