Ada Sentuhan Tangan Karigar, Dibalik Kemewahan Merk Ternama
Merdeka belajar, dapat dimaknai dengan kebebasan untuk memilih topik, hingga bahkan memilih ruang dan waktu untuk belajar. Tak terkecuali berbicara tentang fashion, hingga kemudian dihubungkan dengan pendidikan ekonomi, politik, atau bahkan relasi antar etnis.
Siapa sangka di antara lenggak lenggok model yang gemar memperkenalkan merk ternama, terselip sejuta materi untuk belajar. Tidak hanya terkait dengan teknik pembuatan media fashion, namun juga menyangkut seluk beluk tata kelola produk fashion. Berjalan penuh lekuk, sejak hulu ke hilir.
Merk Fashion Ternama
Tentu banyak masyarakat yang telah mengenal produk fashion dari merk ternama di dunia. Sebut saja Gucci, Christian Dior, Fendi, Valentino, Saint Laurent, hingga Versace. Kesemuanya adalah merk papan atas yang telah dikenal luas, bahkan hingga ke Indonesia.
Pagelaran 2019 yang bertajuk "Jungle" misalnya, kala itu beberapa produk fashion bermerk Versace, tampil memukau bersama Lady Gaga, Lupita Nyongo hingga Jennifer Lopez. Semua brand, memiliki daya tarik tersendiri bagi konsumen gaya. Belum lagi, juga ada perkenalan dari merk Gucci yang menampilkan karya dari Alessandro Michele, atau tas bordir berukir tulisan Dior.
Disulam oleh Pengrajin India
Dikutip dari publikasi The New York Times, disebutkan bahwa merk-merk mewah dari produk fashion dunia, mengalihkan sebagaian besar pekerjaan bordir mereka ke India. Sejak era tahun 1980-an, India adalah salah satu dari eksportir garmen terbesar dunia.
Penyulam India yang dikenal sebagai "karigar", adalah yang terbaik di dunia. Dalam bahasa Urdu, kata "karigar" berarti pengrajin. Sejak pemerintahan Mughal pada pertengahan tahun 1500-an, para penyulam telah mewariskan keahliannya dari generasi ke generasi.
Kini, sebagian besar dari mereka adalah pria muslim yang bermigrasi dari pedesaan India ke Mumbai. Di Mumbai, mereka bekerja pada setiap fast fashion retailers yang berada di bawah naungan rumah ekspor. Setiap satu rumah ekspor, biasanya memiliki pabrik sendiri. Namun, ketika mereka menerima pesanan yang melebihi kemampuan produksi, maka biasanya rumah ekspor mensubkontrakkan kepada fast fashion retailers.
Rumah ekspor adalah mereka yang akan berhubungan dengan pemilik merk internasional. Mayoritas pemilik merk fashion mewah, memang tidak memiliki seluruh fasilitas produksinya sendiri. Selama ini, mereka cenderung mengontrak pabrik independen yang dapat membuat atau menyulam pakaian, sesuai dengan pesanan. Pada tahun 2019, Kementrian Perdagangan India menyebut terdapat peningkatan ekspor sulaman India hingga 500 persen. Hal ini melebihi capaian puncak pada dua dekade sebelumnya.
Kesenjangan Kesejahteraan
Yang menarik, beberapa merk fashion ternama ternyata tidak mempublikasikan keterlibatan para karigar. The New York Times menyebut, bahwa para inisiator kemewahan sebagai pemegang hak merk beberapa produk ternama, tidak menyebut kontribusi karigar ke dalam laporan tahunan, program CSR, atau statement dari para auditor mereka.
Konon para karigar, sebelumnya diminta menandatangani perjanjian kerahasiaan. Namun hasil investigasi The New York Times menemukan fakta yang mengejutkan. Para karigar di India, ternyata hanya menerima gaji kecil untuk pekerjaan yang harus dilakukan selama 17 jam sehari. Untuk pekerja yang sangat terampil, disebut memperoleh upah $ 175 per bulan - sekitar Rp. 2.5 juta -, belum termasuk tunjangan.
Jika Eropa sedang menggelar pekan mode terbaru, maka akan terdapat ribuan jam lembur di Mumbai. Selain itu mereka dikabarkan tidak menerima tunjuangan kesehatan, asuransi, atau dana pensiun yang sesuai. Mereka tidak memiliki akses pendidikan dan akses ke pelayanan publik yang memadai. Tempat mereka bekerja juga belum memperhatikan faktor keamanan, seperti ketersediaan alat pemadam kebakaran, ruang kerja yang terpisah dengan kamar tidur, hingga kepemilikan ruang besar yang memiliki dua akses pintu.
"Mengingat dari harga produknya, ada perasaan bahwa merk-merk mewah, harus melakukannya dengan benar, dan itu membuat mereka kebal terhadap pengawasan publik," demiian ujar Prof. Michael Posner, seorang guru besar Etika dan Keuangan dari The Stern School of Business pada New York University.
Pelajaran yang dapat diambil untuk Indonesia, bahwa pemerintah India melakukan revisi terhadap undang- undang perburuhan di negaranya. Melalui pakta Utthan, para pengrajin diseru untuk hanya bekerja maksimum enam hari dalam seminggu. Jam kerja per hari, juga tidak boleh melebihi 11 jam, termasuk ada usaha untuk menekan waktu lembur.
Setelah kelahiran pakta Utthan di India, gaji bisa dinaikkan menjadi $ 225 atau sekitar Rp. 3.2 juta, sudah termasuk tunjangan. Tantangannya, bahwa ternyata tidak semua pemegang merk ternama, juga bekerja sama melalui rumah ekspor. Pada sisi lain, rumah ekspor tidak semuanya menganggap pakta Utthan adalah bentuk kesepakatan yang menguntungkan. Tentunya, juga ada usaha dari mereka untuk melindungi merk internasional dari tanggung jawab yang memberatkan.
Perlunya Menjaga Kode Etik
Bersumber dari laporan The New York Times, pada akhirnya dapat disebut bahwa melaksanakan operasi bisnis yang bersendi pada prinsip-prinsip praktik bisnis yang etis dan pengakuan terhadap martabat pekerja, adalah suatu hal yang penting. Perusahaan yang memegang teguh sebuah kode etik, diyakini akan dapat berkomitmen untuk memperbaiki hubungan kerja dengan para pengrajin. Pada sisi lain, dibutuhkan pabrik lokal sebagai pemasuk brand internasional yang jujur dan transparan.
Sehingga karenanya, dapat ditetapkan sebuah standar upah dan peningkatan keselamatan kerja yang dapat dipahami oleh pihak-pihak terkait. “Kami menyadari bahwa situasi beberapa pekerja di tingkat sub kontraktor, masih sangat jauh dari memuaskan, dan kami dengan sungguh-sungguh bertekad untuk memperkuat program dengan sesama pemangku kepentingan, untuk mempercepat kemajuan dan untuk dapat memperbaiki situasi,” demikain ujar juru bicara Kering, pemilik label fashion ternama termasuk Gucci dan Saint Laurent.
Sumber:
Penulis asli adalah Kai Schultz, Elizabeth Paton dan Phyllida Jay dalam nytimes[dot]com
Ilustrasi Foto:
Atul Loke dalam nytimes[dot]com