Fungsi Pendidikan pada Legenda Tangkuban Perahu, Perlu Dioptimalkan
Dari cerita rakyat, ada banyak nilai-nilai pendidikan yang bisa diambil. Tak cukup hanya mendengar kisahnya yang menarik, namun masyarakat perlu untuk menggali fungsi pendidikan yang tersimpan di sana. Indonesia merupakan negeri yang kaya akan cerita rakyat. Salah satunya, adalah kisah dari legenda Sangkuriang yang sangat kesohor.
Dayang Sumbi, Tangkuban Perahu, dan Sangkuriang
Di masa lalu, tersebutlah sebuah kerajaan yang dipimpin oleh raja dan ratu. Keduanya memiliki seorang puteri yang sangat cantik. Ia diberi nama Dayang Sumbi. Meski cantik dan pandai, namun Dayang Sumbi dikenal sebagai gadis yang manja. Maklum, ia adalah satu-satunya pewaris tahta kerajaan. Kegiatan keseharian yang biasa dilakukan oleh Dayang Sumbi adalah menenun. Hasil tenunnya bagus dan indah. Namun saat ia menjatuhkan pintalan benang tenunnya, tiba-tiba Dayang Sumbi merasa malas. Memang, sudah kesekia kalinya, pintalannya terjatuh, sehingga membuatnya kehilangan daya untuk sekedar mengambil ke bawah.
Saat itu Dayang Sumbi tersulut emosi, dan terkesan memarahi pintalan tenunnya. Karenanya ia pun berujar, "Siapa yang mau mengambil pintalan benang itu untukku, maka saya akan menikahi siapapun ia!" Betapa terkejutnya si Dayang Sumbi, manakala menjumpai seekor anjing yang kemudian membawa pintalan benang itu kepadanya. Karena terlanjur bersumpah, dengan berat hati, akhirnya Dayang Sumbi pun bersedia menikahi anjing itu. Konon dia bukan anjing biasa. Melainkan anjing sakti, yang dikenal sebagai si Tumang.
Setelah mereka menikah, keduanya dikaruniai seorang anak manusia yang memiliki kesaktian seperti Tumang. Dialah Sangkuriang. Seorang anak yang kuat perkasa. Namun si Sangkuriang, tidak mengetahui bahwa si Tumang adalah ayahnya. Meski dalam keseharian selalu ditemani oleh si Tumang, namun Sangkuriang hanya menganggapnya sebagai anjing setianya.
Suatu hari Sangkuriang diminta untuk berburu ke hutan oleh ibunya. Saat pergi ke sana, ia ditemani oleh si Tumang yang setia. Namun hingga menjelang gelap, Sangkuriang tak juga berhasil mendapatkan rusa buruan. Namun karena tak ingin mengecewakan ibunya, maka ia pun membunuh si Tumang.
Kepada ibunya, ia berbohong dengan mengatakan bahwa hati si Tumang itu adalah hati rusa buruannya. Setelah sekian waktu tidak melihat si Tumang, Dayang Sumbi pun menanyakan keberadaannya kepada Sangkuriang. Begitu murka sang ibu, manakala mengetahui si Tumang ternyata telah tewas di tangan Sangkuriang. Dalam kondisi marah, ia memukul Sangkuriang hingga meninggalkan bekas luka di keningnya.
Sangkuriang pun tumbuh dewasa tanpa ibu. Sesaat setelah memukul anaknya hingga pingsan, Dayang Sumbi diusir ke hutan oleh sang raja. Setelah beberapa tahun lamanya, Sangkuriang tumbuh menjadi pria dewasa yang gagah dan menawan. Pada suatu ketika, ia diminta sang Raja untuk mengembara ke luar istana.
Dalam pengembaraannya, Sangkuriang bertemu dengan seorang wanita cantik. Sangkuriang pun jatuh hati, dan kemudian meminang wanita yang ternyata adalah Dayang Sumbi. Dayang Sumbi pun, tak mengenali bahwa pria yang bakal dinikahinya itu, sebenarnya adalah anaknya sendiri.
Pada sebuah kesempatan, Dayang Sumbi pun mengenali Sangkuriang dari bekas luka yang ada di kepalanya. Untuk itu, ia bermaksud membatalkan pernikahannya. Dayang Sumbi pun mengajukan syarat, yang sebenarnya tak mungkin dapat dipenuhi oleh Sangkuriang. Ia meminta kepada anaknya, untuk membuat bendungan yang mampu menutup seluruh bukit. Selain itu, Sankuriang juga harus membuat perahu untuknya, yang juga harus dapat digunakan untuk menyusuri bendungan. Kesemuanya itu, harus dapat diselesaikan oleh Sangkuriang, sebelum fajar menyingsing.
Dengan gelora cinta yang begitu besar, Sangkuriang bekerja keras untuk mewujudkan keinginan Dayang Sumbi. Karena kesaktiannya, bendungan pun selesai beberapa waktu sebelum fajar. Tibalah kemudian, Sangkuriang menebang pohon untuk membuat perahu.
Melihat pekerjaan yang hampir selesai, maka Dayang Sumbi mengajak penduduk untuk memukul-mukul penumbuk padi. Itu dilakukan agar ayam-ayam terbangun, dan mulai berkokok, sebagai tanda pagi tlah tiba. Langkah ini berhasil, dan ayam-ayam terbangun, hingga berkokok lebih awal dari waktu yang semestinya.
Sangkuriang pun menyadari, bahwa ia telah ditipu. Dengan penuh amarah, ia mengutuk Dayang Sumbi, sembari menendang perahu buatannya ke tengah hutan. Akibat dari kemarahannya, seluruh bukit dipenuhi air bah, hingga membentuk sebuah danau. Di danau itu, keduanya memilih untuk menenggelamkan diri. Kini, perahu itu dikenal oleh penduduk setempat, sebagai sosok gunung tangkuban perahu. Sementara sisa pohon yang ditebang oleh Sangkuriang, dikenal sebagai bukit tunggul, yang berarti sisa pohon.
Fungsi Cerita Rakyat
Menurut Dr. Yuniawan Heru, kisah Sangkuriang tersebut tergolong legenda. "Karena oleh masyarakat setempat diyakini bahwa itu memang dulunya benar-benar terjadi, maka kisah itu bisa disebut sebagai legenda," ungkap Sekjen KELUARGA (Kekerabatan Alumni Antropologi Universitas Airlangga) itu. Sehubungan dengan pengembangan pendidikan, maka fungsi folklor sebagai alat didik, dirasa perlu untuk dioptimalkan. Nilai-nilai luhur yang dapat digali, sebisa mungkin juga disampaikan kepada siswa.
Ditambahkan bahwa legenda Sangkuriang, tergolong folklor lisan. Kisahnya diwariskan secara lisan, dari satu generasi ke generasi berikutnya. "Cerita rakyat semacam itu juga dapat digunakan sebagai alat untuk mendidik. Fungsi yang lain, bisa juga sekedar mencerminkan harapan atau sekedar angan-angan dari masyarakat di sana. Bisa juga untuk melegitimasi pranata yang ada, atau mendorong agar norma yang ada menjadi dipatuhi," papar Yuniawan Heru Santoso.
Folklor Lisan sebagai Alat Mendidik
Terkait dengan fungsinya sebagai bagian dari pendidikan, maka kisah Sangkuriang, Dayang Sumbi, dan Tangkuban perahu, memang menyimpan beberapa hal. Sebagaimana folklor lisan yang lain, legenda tangkuban perahu menyimpan banyak pelajaran hidup. Dari kisah Dayang Sumbi misalnya, kita seakan diarahkan agar tidak mudah bersumpah. Berikutnya, meski harus menerima kenyataan pahit, namun jika sudah bersumpah, maka kita diminta untuk tetap memenuhi. Hal ini dicontohkan dengan keberanian Dayang Sumbi untuk tetap menikahi anjing Tumang.
Pada sisi lain, contoh perlakuan Sangkuriang kepada si Tumang, seakan menjelaskan bahwa berbohong, akan dapat membawa dampak yang jauh lebih besar. Larangan agar tidak berbohong, menjadi pesan penting bagi kisah ini. Selain itu, kisah ini juga mengajarkan bagaimana kita agar berhati-hati dalam mengelola amarah. Dicontohkan dengan kebiasaan marah yang dilakukan oleh Dayang Sumbi, dan Sangkuriang sendiri. Akibat amarah, maka ternyata dapat terjadi aneka kejadian yang dapat merugikan banyak pihak di masa depan.
Ilustrasi foto: alampriangan[dot]com