Perusahaan Butuh Mengelola Keberagaman
Tidak dapat dipungkiri, masalah ras belum sepenuhnya berhasil dituntaskan di Amerika dan Eropa. Bahkan hingga saat ini, beberapa perusahaan masih perlu untuk menyatakan komitmen mereka, guna menarik workers of color. Istilah workers of color, kerap digunakan bagi mereka yang bukan dari kaum kulit putih. Padahal di sisi lain, organisasi yang sanggup menerima keberagaman, adalah organisasi yang memiliki keunggulan kompetitif.
Beberapa perusahaan besar seperti Google dan Apple, menyatakan bahwa mereka ingin meningkatkan keberagaman. Mereka berusaha meningkatkan kebutuhan terhadap pemimpin perusahaan dan perawat kesehatan, termasuk dokter, agar lebih banyak berasal dari warga kulit hitam sebagai bentuk perubahan demografis di kantor.
Berdasarkan pendapat Prof. Adia Harvey Wingfield dalam salah satu publikasi Harvard Business Review yang disajikan pada 16 Januari 2019 kemarin, disebutkan bahwa terdapat beberapa bidang kerja yang kurang mewakili keberagaman. Jika itupun ada, maka perubahannya terjadi secara perlahan. Sama seperti halnya profesi dokter, terdapat profesi lain di bidang hukum dan keuangan, yang disebut kurang terwakili.
"Saya telah mempelajari pekerja kulit hitam selama hampir 15 tahun. Penelitian dan data pada topik ini, menunjukkan bahwa organisasi telah membuat pekerja kulit hitam gagal dalam tiga bidang utama tersebut, terutama jika mereka dipekerjakan sebagai seorang pekerja profesional," demikian ujar Profesor Sosiologi dari Washington University di St. Louis, Amerika Serikat.
Menurutnya, keberagaman ini akan dimulai ketika karyawan dipekerjakan di tempat pertamanya bekerja. Pada sisi lain, banyak perusahaan yang sangat bergantung pada jejaring sosial dan koneksi pribadi mereka, untuk mengisi formasi atau lowongan yang tersedia di perusahaan mereka. Padahal, dengan cenderung bersandar pada hubugan informal, maka warga kulit hitam akan mendapat pengecualian karenanya. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh sosiolog, Lauran Rivera dan antropolog, Ilana Gershon. Dalam hal ini koneksi pribadi, disebut akan dapat membatasi akses pelamar dari warga kulit berwarna.
Hal ini dikarenakan, mayoritas pekerja di perusahaan Amerika Serikat, adalah mereka yang berkulit putih. Sementara warga kulit putih, cenderung memiliki jaringan secara penuh terhadap orang kulit putih yang lain. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Public Religion Research Institute pada tahun 2014, dinyatakan bahwa 75 % orang kulit putih tidak memiliki teman di luar kelompok ras mereka.
Kegagalan kedua organisasi terhadap pekerja kulit berwarna, adalah adanya kebijakan yang tidak efektif terhadap inklusi dan keberagaman. Banyak perusahaan yang telah mendefinisikan keberagaman secara longgar dan ambigu. Misalnya, melalui keberagaman pemikiran atau keberagaman pendapat saja. Menurut Prof. Adia perusahaan yang tidak secara jelas mengartikulasikan bagaimana mereka akan mendukung pekerja kulit berwarna, maka perusahaan tidak akan mampu merespons ketika terjadi masalah diskriminasi atau pelecehan ras.
Sosiolog, Louwnda Evans, menemukan bahwa pekerja kulit hitam pada industri penerbangan, secara rutin telah mengalami pengucilan dan isolasi. Baik itu dari pilot kulit putih, pramugari, atau pelanggan. Bahkan hal itu telah mengakibatkan penolakan promosi jabatan atau peluang lainnya di tempat kerja. Dalam hal ini, mendorong keberagaman pemikiran di antara manajemen senior yang kesemuanya berkulit putih, ternata tidak selalu dapat membantu pramugari kulit hitam, untuk menghadapi lingkungan kerja yang tidak ramah bagi mereka.
Keberagaman Perlu Dipahami sebagai Keahlian Baru yang Dibutuhkan oleh Perusahaan
Hasil akhir yang dikhawatirkan atas terjadinya itu semua adalah segregasi organisasi secara internal. Dikatakan oleh Dr. Yuniawan Heru, keberagaman sebenarnya berbicara tentang people, sehubungan dengan pekerjaannya, tempatnya bekerja, dan masyarakat atau bangsa tempat ia tinggal. Untuk itu, setiap perusahaan harus menyadari dan meyakini kebutuhan terhadap keahlian baru. Keberagaman, perlu dipahami dan dipercaya sebagai keahlian baru yang dibutuhkan oleh perusahaan dalam mengelola keberagaman.
"Keahlian baru itu berupa sikap dan pemikiran praktis, terkait dengan kemampuan karyawan, terlebih pimpinan, untuk menunjukkan itikad mereka, terkait penerimaan terhadap values dan perilaku yang tidak sama dengannya," tutur Yuniawan Heru dalam penjelasannya terkait dengan keberagaman dalam konteks pengembangan SDM.
Jika pengakuan perbedaan sudah terjadi pada ranah tindakan, maka perlu ditingkatkan kualitas interaksi antar kelompok kerja, antar Manajer, antar Manajer dan pekerja, atau meliputi struktur lain dalam organisasi yang sekiranya dapat membentuk dan menyalurkan tindakan yang mendukung keberagaman.
Sumber: How Organizations Are Failing Black Workers — and How to Do Better dalam hbr[dot]org
Ilustrasi foto: Klaus Vedfelt.Getty Images dalam hbr[dot]org