Habibie dan Ibu Pertiwi Adalah Wujud Cinta Illahi
"Bapak bener-bener dikasih istirahat dan ditaruh di ICU, agar bisa istirahat. Keadaan Bapak sudah stabil, membaik, cuman Bapak sangat lemes, sangat capek. Diajak ngomong bereaksi, tidak ada (tidak benar) Bapak itu dalam keadaan kritis. Sudah membaik, sudah stabil," demikian ujar Thareq Kemal Habibie pada hari Selasa (10/9) lalu saat tersiar kabar bohong tentang meninggalnya presiden RI ke-3, Prof. B.J. Habibie. Mewakili keluarga, kala itu Thareq Habibie menyebut ayahnya sedang ada dalam aktivitas tinggi, sehingga jantungnya sedikit melemah.
B.J. Habibie Meninggal Dunia
Namun demikian, selang beberapa hari pasca konferensi press berlangsung, seperti yang telah diberitakan, Presiden ketiga RI, memang benar-benar telah meninggal dunia. Bacharuddin Jusuf Habibie meninggal dunia, pada hari Rabu (11/9) lalu, pukul 18.05 WIB. Beliau meninggal dalam usia 83 tahun, dan meninggalkan aneka jejak perjuangan bagi ibu pertiwi.
Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie, dilahirkan di Parepare, pada tanggal 25 Juni 1936. Beliau adalah putera dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan Raden Ajeng Tuti Marini Puspowordjojo. Bagi anak Indonesia yang lahir pada era tahun 1980-1990an, maka Habibie adalah cita-cita. Bagi anak generasi milenial, maka Habibie adalah eyang panutan bagi jutaan cucu-cucunya yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.
"Cinta yang tidak bisa dipisahkan oleh maut, adalah cinta illahi," demikianlah ungkap Habibie ketika mengenang kematian ibu Ainun Besari. Demikian pula kematian B.J. Habibie baru lalu. Bagi segenap anak bangsa Indonesia, cinta illahi kepada B.J. Habibie akan terus dikenang dan dipegang, sebagai tonggak keunggulan anak bangsa. Perjuangan Habibie bagi ibu pertiwi, akan terus dikenang sebagai wujud cinta illahi.
Kecintaan pada Pesawat Terbang
Bacharuddin Jusuf Habibie, memang dilahirkan sebagai pejuang bagi bangsa Indonesia. Meski perkenalannya dengan pesawat adalah kisah pilu, yakni ketika pesawat pengebom menghampiri desanya, namun Habibie tetap menunjukkan perjuangan keras.
"Sejak kecil, terobsesi pesawat terbang. Waktu saya naik kapal, dari Makasar sampai Jakarta, itu (memakan waktu) lima hari. Di tengah laut, tidak ada burung. Mendekati pantai ada banyak burung. Saya perhatikan semuanya, bagaimana burung melayang. Itu semua merangsang untuk berpikir, apa mungkin jika saya membuat seperti itu. Itu sudah arahnya ke kapal terbang... Saat sampai di Bandung, saya masuk kepanduan. Ada yang menarik, yaitu Pandu Penerbangan, " demikian kisah pria yang di masa kecilnya gemar membuat model kapal terbang dari meccano.
Pada bulan April 1955, saat masih berusia 18 tahun, Habibie harus belajar ke Jerman. Dan itu adalah pengalaman pertama, naik pesawat. "Saya pertama naik pesawat terbang, ada dua perasaan. Satu perasaan yang berdasarkan rasa ingin tahu. Fokus ke berat dan keamanan di pesawat... Kesan kedua, adalah emosi. Emosi karena harus naik pesawat terbang ke suatu tempat yang tidak tahu, tempat itu ada di mana," kisah Habibie.
Hal itulah yang kemudian menjadi titik tolak lahirnya sejarah peradaban dirgantara di tanah air. Pada tanggal 10 Agustus 1995, pesawat yang diinisiasi oleh B.J. Habibie yaitu N 250, berhasil tinggal landas. N 250 adalah pesawat penumpang dengan teknologi sistem kendali tercanggih kala itu. Dalam sebuah wawancara B.J. Habibie menyatakan bahwa market domestik dari pesawat N 250 masih berpeluang untuk dikuasai. "Saya pernah hitung, jika membuat N-250 sejumlah 170 pesawat saja, maka akan kita akan bisa mendapatkan $ yang senilai seperti hasil tanam padi di seluruh daratan Indonesia, dengan tanpa diganggu oleh hama satupun," tukas Habibie.
Bersama puteranya, saat ini B.J. Habibie sedang menginisiasi pembangunan proyek pesawat R-80. Menurut Ilham Habibie, pesawat R-80 menempatkan diri pada satu kelas di bawah Airbus. Pesawat ini ditargetkan akan bisa terbang pada tahun 2022 nanti. "Kita memerlukan adanya solusi terhadap kebutuhannya yang kompleks. Perlu wahana transportasi yang murah, handal, dan kalau bisa, dibuat sendiri. Biarpun banyak orang pintar, jika tidak ada proyek, itu percuma. Banyak yang bekerja tidak sesuai dengan pendidikannya. Pesawat R-80 ini ada untuk itu semua," terang Ilham Habibie.
Perjuangan B.J. Habibie untuk Indonesia
"Saat sakit keras di Jerman, saya pun bersumpah. Saya kira mau mati. Terlentang, jatuh, perih kesal. Ibu Pertiwi, engkau pegangan. Dalam perjalanan janji pusaka dan sakti, tanah tumpah darahku makmur dan suci. Hancur badan, tetap berjalan. Jiwa besar dan suci membawa aku padamu. Ibu pertiwi makmur dan suci. Nah melalui sumpah itu, wahananya adalah drigantara," tutur Habibie dalam acara Mata Najwa pada tahun 2017 lalu.
Kendati pernah menjabat sebagai Presiden RI, Habibie mengaku tidak tertarik menggeluti dunia politik. "Politik, saya tidak tertark. Yang saya tertarik adalah bagaimana saya membuat pesawat terbang itu, yang bisa membawa manusia Indonesia di bumi indonesi, dan di tiap titik-titik yang bisa diterbangi secara aman, secara murah, dan semuanya kita buat sendiri. Itu cita-citanya. Memiliki kemampuan untuk merekayasa dan membangun pesawat terbang sendiri," ujar Habibie.
Namun demikian, hal itu bukan berarti Habibie tidak mengenal politik. Hal ini seperti diungkap oleh Wardiman Djojonegoro, mantan Mendikbud RI yang juga pernah sekamar dengan Habibe saat kuliah. "Pak Habibie suka mengumpulkan mahasiswa ke tempat kita, untuk merancang pembangunan Indonesia. Jadi hampir setiap hari ada rapat. Beliau itu ya seminar, juga belajar. Sekolah tepat waktu selesai," ungkapnya.
Sejak mahasiswa, Habibie merasa perlu untuk memikirkan strategi pembangunan Indonesia ke depan. Menurut Habibie, pada tahun 1958 ia menyadari bahwa membuat pesawat itu perlu untuk melibatkan banyak pakar dari bidang lain. "Waktu itu saya sedang menghadapi masalah, bahwa untuk membuat pesawat terbang itu, butuh banyak disiplin ilmu pengetahuan. Saya pikir, siapa yang ngatur? Jadi itu sudah harus disusun," begitu terang ayahanda dari Ilham Akbar Habibie.
Sekembalinya ke tanah air, Habibie pun membuktikan sumpahnya dengan membangun pesawat NC 212, kemudian CN 235, hingga N 250. Pada sebuah pameran di luar negeri, Habibie pun sempat memperkenalkan N 20130 kepada dunia. Mengisi akhir hidupnya, Habibie juga tidak tinggal diam. Menggandeng puteranya, beliau berusaha merealisasikan pesawat R-80 untuk pasar Asia Tengah.
Mengapa pada era kepemimpinannya, IPTN harus mati? Menurut B.J. Habibie, keputusan itu adalah hasil dari proses negosiasi, antara pemerintah Indonesia dengan IMF, dimana ia tidak diajak turut serta. Diakui olehnya, bahwa membubarkan perusahaan itu, sama halnya dengan membunuh manusia. "Saya harus pilih. Ketika pesawat terbang jatuh, bisa terpecah. Saya sebagai co pilot (wakil presiden, red.), bisa membuat tidak jatuh (setelah ditunjuk menggantikan Presiden Seharto, red.). Jika saya selamatkan IPTN saja, maka saya akan dikira hanya sebagai Presiden yang memikiri pesawat dan teknologi saja. Sementara masih ada urusan lain yang juga perlu diselesaikan, dan itu yang ditunggu. Saya harus selamatkan bangsa ini," demikian ujar Habibie.
Nilai-Nilai dari Riwayat Hidup Habibie
"Hati muda, 17 tahun. Hardwarenya 80 tahun, tapi softwarenya selalu up to date," itulah tukas Habibie saat diwawancarai di Metro TV pada dua tahun lalu.
Menurut Habibie, keluarganya menyebut pendidikan adalah yang utama. Sejak usia lima tahun, ayahandanya berpesan,"Saya tidak tahu kamu jadi apa kalau besar. Tapi satu saya doakan, kamu ini menjadi Kepala Keluarga yang berperilaku seperti mata air. Semua keluargamu, semua kawanmu, sekitarmu, mekar hidupnya. Karena kamu keluarkan mata air, jernih, yang penuh dengan kehidupan".
Demikian pula ketika ibunya mendorong Habibie untuk melanjutkan studi ke Jawa. Meski hatinya bergolak, namun tetap berusaha mendorong kemajuan puteranya. "Tidak Nak, kamu harus jadi pinter. Kamu harus nomer satu. Kamu sedih, ibu lebih sedih. Tapi saya harus lepaskan kamu, supaya kamu maju," demikian kenang Habibie mengingat pesan ibunda Tuti Marini.
Dikatakan oleh Habibie, bahwa sedari kecil, ayahanda Alwi Abdul Jalil, memang sering mengajaknya untuk berdiskusi. "Kita memang lebih banyak berbicara diskusi, dan diajak mendampingi Bapak. Ke mana bapak pergi, diajak. Yang dipentingkan, selalu diajak diskusi," kenang Habibie.
Yang menarik, saat kecil Habibie sempat dianggap gagap. "Gagap karena tidak punya waktu berbicara. Saya mau tahu banyak. Banyak pertanyaan yang saya perlu jawab. Satu-satunya saya peroleh jawabannya, dari saya baca buku. Buku membutuhkan konsentrasi, fokus pada apa yang saya sedang pelajari. Kenapa begini, kok jawabannya ini. Kalau begini, kenapa tidak begitu? Tidak berhenti-berhenti,selalu penuh dengan pertanyaan," imbuh Habibie.
Akibat ketertarikannya, dalam membaca, saat sekolah di Bandung, Habibie sempat dijuluki sebagai londo ireng. Kala itu, Habibie adalah orang Indonesia yang tidak bisa berbahasa Indonesia. "Karena tertarik membaca, pengetahun saya mengenai bahasa, isi vocab lebih sempurna. Bahasa Belanda, Inggris, Perancis, lebih sempurna dari bahasaIndonesia. Jadi londo ireng," ungkapnya sembari tersenyum.
Pesan Moral untuk Generasi Penerus
"Habibie itu orangnya rajin, teliti, dan disiplin. Pintar, kerjanya cuman belajar. Kalau kita waktu itu biasa berdansa-dansa, idak pernah ikut. Beliau maunya cuman belajar saja. Beberapa dari kita pernah tidak ikut kuliah, karena ketiduran, akibat semalam berdansa terus. Lantas besoknya kita biasa tanya ke pak Habibie, karena beliau yang paling rajin," ungkap Leila Z Rachmantio, teman kuliah Habibie di Jerman.
Hal menarik dari Prof. Habibie. Meski dinyatakan sebagai orang yang jenius, namun Habibie kerap kali menyangkalnya. "Anda jenius? No. I am just like you and the other! Karena untuk anak cucu kita, kita akan berjuang. Tidak berhenti, sampai mereka menjadi unggul. Saya rasa biasa, seperti yang lain. Bedanya, saya mau tahu banyak dan berusaha tahu. Bahwa digolongkan jenius, itu saya tidak penting. Yang penting adalah kita sebagai manusia, mau bener-bener, mau konsentrasi, mau mencari penyelesaian, dari sesuatu yang sedang kita hadapi," demikian tukas Habibie.
Berikutnya, kepada generasi muda Indonesia, Habibie berpesan,"Di manapun anda berada kita harus sempurnakan diri kita sendiri. Jadilah diri anda unggul. Tapi untuk jadi unggul, anda harus tingkatkan produktivitas. Untuk jadi produktifitas tinggi, harus bisa bersinergi dengan tiga elemen. Agama, Budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi".
Sumber:
Mata Najwa dalam metrotvnews youtube[dot]com
Kompas TV dalam youtube[dot]com
romadecade[dot]org
Ilustrai foto:
Official NET News dalam youtube[dot]com